14. Filosofi Tanda Koma

2.1K 627 47
                                    

Keterangan : akan di-update jika komen mencapai 20:)

____
Tuhan itu adil. Semua masalah yang diberikan kepada manusia sudah disesuaikan. Kalau setiap masalah diadunasibkan tidak akan pernah ada pemenangnya.
IQ (F=m.a)

Pengumuman hasil ulangan bulanan benar-benar mengejutkan Bora. Pasalnya dia berhasil menaikkan peringkat paralelnya. Dari yang semula rangking lima puluhan menjadi rangking sembilan belas.  Tidak terlalu membanggakan bagi orang-orang yang melihat hasilnya. Akan tetapi, itu sudah cukup peningkatan bagi Bora sendiri.

"Utkarsa!" pekik Bora saat dari jauh melihat Utkarsa yang berjalan ke arahnya. Mereka berdua berjanjian untuk datang ke kantin happy hari ini. Lagi pula tidak ada jam pelajaran.

"Kamu senang sekali kelihatannya.  Ada kabar baik?" tanya Utkarsa yang kini sudah duduk di sebelah Bora. Di meja, sudah terdapat banyak makanan seperti pizza, mie ayam, bakso, dan burger yang dipesan Bora.

"Masuk dua puluh besar paralel! Seneng banget, Sa!" jawab Bora dengan raut wajah penuh kegembiraan. "Kamu pasti dapet ke satu lagi, ya?" lanjutnya.

Utkarsa mengangguk seraya menepuk pelan kepala Bora. "Keren banget kamu, nanti bulan depan sepertinya bisa sepuluh besar nih."

Bora meneguk kasar salivanya. Pertama kali dalam hidupnya ada lelaki selain Papi dan Yana Nakula yang membelai rambutnya. Bora melahap burger, menetralisir perasaan anehnya. Gak boleh baper. Cuma temen. Pokoknya gak boleh baper!

"Sa, turunin tangannya," pinta Bora. Utkarsa menurut. "Eh, maaf Bora. Saya refleks tadi."

"Hm, oiya, gue punya bakat nulis terpendam. Mau gue bikinin cerpen enggak? Tokoh utamanya lo. Anggep aja rasa terima kasih gue."

Utkarsa mengangguk seraya tersenyum lebar. "Wah, boleh. Langsung novel saja kalau bisa."

Bora terkekeh. "Ngaco. Mana bisa."

"Bisa. Tidak ada yang mustahil kalau manusia berusaha, kan? Saya akan dukung kamu, kok."

Mereka sama-sama terdiam beberapa saat. Sibuk mengunyah makanan masing-masing. Sampai akhirnya, Bora kembali membuka suaranya. "Kalau lo? Gak mau ngembangin bakat ngelukis? Lukisan lo bagus kalau gue liat-liat."

"Kalau kamu ngedukung, saya akan berusaha sepertinya."

Bora mengernyit. "Kok gue?"

Utkarsa terkikik sejenak sebelum membalas pertanyaan Bora. "Lalu siapa lagi kalau bukan kamu? Teman saya cuma kamu."

πππ

Sedari tadi di dapur, tatapan intens Idaline selalu tertuju pada Kishika yang sedang berusaha mencuci piring. Kishika selalu bungkam setiap kali disuruh neneknya dan dilihat seperti ini. Bahkan seisi rumah tak ada yang berani membela Kishika.

Kishika selesai mencuci piring. Idaline memeriksa kebersihan piring yang dicuci oleh Kishika. Tak lama, Idaline membanting piring tersebut hingga pecahannya mengenai kaki Kishika. "Kishika bisa nyuci piring yang bersih nggak sih? Percuma kamu pintar kalau enggak bisa jadi perempuan!"

Kishika menatap kakinya yang terasa begitu perih. Manendra ingin membela anak kesayangannya. Akan tetapi Ekadanta mencegahnya lebih dulu. "Jangan dilerai, Dra," ucap Ekadanta sebelum akhirnya pergi bersama istrinya ke luar.

"Maaf, Nek," lirih Kishika.

"Maaf? Ini udah piring ke berapa, Kishika? Ini udah berapa kali? Maaf-maaf terus. Kamu dikasih nama Kishika sama Nenek bukan untuk ngecewain kayak gini."

IQ (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang