9. Choice

172 41 28
                                    

"Akhir-akhir ini Aria jarang main, Sat. Kenapa?"

Satria menghentikan suapan ke mulut. Menaruh sendok kemudian meneguk air putih di gelas.

"Kalian nggak lagi marahan, kan?" Lanjutan pertanyaan sang Bunda membuat hilang selera makan.

"Masih ngambek, Bun."

"Gara-gara bunda cerita ke tante Hanna masalah temennya yang preman itu?"

"Dia bukan preman sih, Bun. Noah temen Satria juga, kok."

"Kamu cemburu?"

Sendok yang baru saja Satria angkat terjatuh, terkejut mendengar pertanyaan itu. Salma tersenyum lebar melihat anaknya yang belingsatan.

"Bunda apa sih. Satria cuma nggak pengen Aria disakitin. Noah suka gonta ganti pacar, Bun."

"Yaaa ... siapa tau habis ketemu Aria, dia jadi tobat."

"Darimana Bunda yakin?" Satria sedikit meninggikan suaranya. Tanpa sadar, ia tampak jelas tak menyukai perkataan Salma. Membuat wanita itu mengulum senyum.

"Yaudah, minta maaf sana sama Aria. Anak bunda kok kayak lagi patah hati gitu," sindir Salma.

"Bund" Satria tak ingin lagi membalas ejekan sang Bunda. "Udah, kok."

"Trus?"

"Belum dimaafin."

"Jangan capek nyoba. Sebelum kamu rasa itu udah cukup."

Salma mengacak sisi kepala Satria. Lalu beranjak, merapikan meja serta mencuci bekas peralatan sarapan di minggu pagi menjelang siang ini.

.

.

.

Tok Tok Tok!

Tok Tok Tok!

Pintu yang diketuk akhirnya dibuka, membuat Satria mundur selangkah. Wajah yang tak siap menatap sang pemilik rumah hanya bisa menunduk. Menatapi kantong hitam berembun di tangannya, karena berisi benda dingin.

"Lupa sandinya?" ketus Aria. Cowok itu menggeleng, bibirnya masih mengatup. Beberapa detik sunyi. "Mau masuk nggak? Gue tutup lagi nih."

Satria menahan daun pintu, kali ini memberanikan diri memandangi sosok di hadapannya. "Tambah galak aja, sih."

Aria menggulir bola mata, raut kesal belum hilang sepenuhnya. Satria mengekor masuk, lalu dengan ragu duduk di sofa tempat Aria merebahkahkan diri. 

"Ni, es krim." Satria mengangkat bungkusan di tangannya.

"Lagi diet."

Cowok itu menghela napas. "Sampe kapan marahnya? Aku kangen."

Aria mengerjap, akhir-akhir ini Satria sangat pandai mempermainkan jantungnya. 

"Aku nggak ngadu ke tante Hanna. Bunda yang—"

"Udah nggak usah dibahas!" jeda Aria sewot.

"Jadi? dimaafin, kan?" Satria mencodongkan tubuhnya. Menatap lekat wajah Aria yang membelalak.

"Ihh!" Gadis itu salah tingkah, lalu mendorong kasar bahu Satria. "Gue nggak marah kok." Aria kini bangkit dan duduk bersisian.

"Kalo mau bohong jangan sama Satria."

"Hah?"

"Kamu nggak bisa bohongin aku, Ar."

"Habisnya nyebelin."

"Tuh kan, masih marah."

Bibir Aria mengerucut. Kemudian wajahnya nampak terkejut saat Satria mengelus sisi belakang surainya. Hal yang sering terjadi, tapi kali ini, ada gemuruh aneh di area dadanya.

THE BODY(heart)GUARDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang