42. The Art Of Letting Go

71 21 7
                                    

2016

Setelah lulus dari bangku sekolah menengah, Aria memutuskan mengambil program studi Psikologi. Mama dan keluarga barunya pindah ke Australia, Olla pun ikut bersama mereka.

Dengan susah payah Aria meyakinkan Hanna untuk mengijinkannya tinggal sendiri, dengan syarat Murni selalu menemani selama dua puluh empat jam.

Akan tetapi Murni harus pulang kampung karena sang ibu sedang sakit. Membuat Aria terpaksa benar-benar hidup mandiri beberapa bulan ini.

Ponsel Aria bergetar saat ia baru saja keluar ruang kuliah. Gadis itu mendesah tatkala membaca 'Mom memanggil' di layar.

"Siap ibu negara," candanya setelah menerima panggilan. "Iya mam, belum ada kabar dari mbak Murni." Aria tetap berjalan sembari berbincang.

"I'm fine, aku masih idup. Mama bisa denger, kan aku sehat-sehat aja? atau mau vicall?" Aria bergumam kesal, tampak ingin sekali memakan benda yang sedang mengeluarkan omelan mengudara.

Tanpa ia sadari, seorang lelaki menyusuri langkahnya dari belakang. Sosok yang menatap lembut, sesekali tersenyum mengamati gerak gerik gadis itu.

"Okay, bye mam ... Aria ada kelas lagi." Menutup telpon lalu menghentikan langkah secara tiba-tiba, membuat lelaki di belakang terkesiap. Hingga tubuh mereka sedikit bertumbukan.

"Eh." Aria berbalik, memindai sosok yang sedang mengangkat kedua tangan seolah menahan diri untuk menyentuhnya. "Noah?"

"Hai, Ar," sapa Noah sembari memamerkan barisan giginya.

"Nyari Ega? gue juga belum liat dia tuh dari pagi." Fakultas yang berseberangan membuat Aria dan Ega sering bertemu.

"Ada di rumah."

"Hah? sakit?"

"Nggak ada kuliah hari ini katanya."

Aria menepuk jidat. "O iya, bego. Kemarin dia udah bilang sih, pikun banget gue sekarang."

"Nggak pa-pa. Masih cantik kok."

Aria berdecak kesal, mulai bosan dengan rayuan Noah. "Mau ngapain lo ke sini? jangan bilang nemuin gue? atau ... mo nyamperin gebetan baru lagi, ya?"

"Apaan sih. Ega nih mesti cerita macem-macem."

"Yee enggak, gue denger tadi pagi di toilet cewek-cewek pada ngomongin lo," cibir Aria. Mereka melangkah menuju area foodcourt.

"Sini aja." Ajak Noah, mengarah pada meja dengan dua kursi berseberangan. Menyuruh Aria duduk terlebih dahulu, sedangkan ia tampak menuju stand minuman.

"Mau makan?" tawar Noah setelah mengulurkan susu kotak. Disambut gelengan kepala. Membuat Noah urung beranjak, kemudian mengambil kursi.

"Kesini cuma mau ngajak gue minum susu?" selidik Aria.

"Enggak lah." Noah diam sebentar. "kangen," imbuhnya sedikit ragu.

"Gue ogah ya lo jadiin target selanjutnya."

"Target?" Alis Noah berpaut.

"Cewek-cewek di toilet tadi bilang kalo mereka lo PHP-in."

"Gue nggak pernah ngasih harapan. Mereka aja yang ke-GR-an," sewot Noah dengan wajah merengut sambil menyedot teh botol.

"Makanya, jangan suka mainin perasaan cewek."

"Gue nggak pernah mainin mereka, Ar. Diajak kenalan ya gue terima, jalan ya ayok. Hangout juga bareng-bareng kok."

"Lo nggak perlu jelasin ke gue. Yang perlu lo jelasin adalah kenapa lo bisa di sini sekarang? di hadapan gue. Seolah-olah lo tau gue lagi butuh tumpangan karena mobil gue lagi mogok."

THE BODY(heart)GUARDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang