Salma memanggil-manggil Satria, menyuruh turun untuk makan malam. Beberapa kali seruan tak mendapat jawaban, akhirnya wanita itu naik dan mengetuk pintu kamar.
"Iya, Bund." Wajah pucat terlihat disela pintu.
"Kamu kenapa?" Salma meraba sisi pipi, lalu dahi Satria. "Panas banget."
"Nggak pa-pa." Satria kembali ke dalam untuk merebahkan diri di kasur.
"Yaudah bunda ambilin makan, ya. Trus minum obat."
Hanya anggukan yang nampak. Salma keluar kamar dengan tergesa. Segera meracik makanan dan menaruh di atas nampan. Tak lupa mengacak kotak obat untuk mencari pereda demam.
Ketika kembali, perlahan Ia membangunkan Satria yang memejam. "Nak, makan dikit yuk."
Seolah tak bertenaga, cowok itu kesulitan bangkit untuk menyender pada headboard.
"Kok bisa sampe kayak gini?" Tanya Salma sambil menyuapi. Ia terlihat panik, karena Satria termasuk anak yang jarang sakit-sakitan.
"Kecapean aja, Bund. Nggak pa-pa kok."
"Selalu aja kamu bilang nggak pa-pa. Yaudah, nggak usah berangkat sekolah dulu."
"Buat istirahat bentar paling juga sembuh, Bunda. Lagian hari senin ada ujian semester."
Salma mendesah pendek. "Bunda kabarin Aria?"
"Nggak usah. Tadi pamit pergi sama temen-temennya."
"Temen-temennya? siapa?"
"Aria udah punya banyak temen, Bunda."
Satria kembali tiduran setelah dua suapan makanan dan meminum obat.
Salma terdiam, nampak memikirkan sesuatu. "Jadi, Aria udah nggak butuh kamu lagi?"
Satria tertegun mendengar ucapan sang Bunda, membuatnya menoleh menatap wanita itu. "Kok Bunda ngomong gitu?"
"Maksud bunda-" Salma belingsatan. "Bunda ... seneng aja Aria udah banyak temen. Syukurlah, sepertinya Aria memang udah waktunya belajar mandiri. Iya, kan?"
Satria mengangguk. "Iya. Aria udah banyak berubah." Satria berucap dengan wajah murung.
"Tapi-"
Ucapan Salma yang terputus membuat Satria menatap sang bunda.
"Sepertinya malah kamu yang nggak bisa jauh dari Aria."
...
Satria membuka mata. Kepala yang pening sudah lumayan berkurang. ketika menggerakkan tangan, sikunya menyentuh sesuatu di bibir ranjang.
Gerai rambut terurai hampir menutupi wajah, tapi tak menghalangi cowok itu untuk mengenali sang pemilik.
Jam dinding menunjukkan pukul lima pagi. Dalam hati Satria bertanya, sejak kapan gadis ini tidur dengan tak nyaman seperti sekarang.
Satria bangkit. Menangkup tubuh, lalu mengangkatnya ke atas kasur. Aria hanya mengolet sebentar untuk menyamankan diri. Membuat Satria lega karena tak sampai membangunkannya.
Kemudian, ia sendiri tiduran di sofa, sembari mengamati wajah pulas di seberangnya. Bibirnya tak henti tersenyum. Ia pun tersadar, ternyata hal sepele seperti ini pun bisa membuat hatinya tenang dan bahagia.
Akan tetapi sedetik kemudian rautnya berubah menjadi gamang. Satria teringat beberapa hari yang lalu mendapati Bunda berbincang di telepon seraya menangis, yang ia yakini dari sang kakek. Terdengar masih membahas tentang keinginan terakhir ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE BODY(heart)GUARD
Teen FictionAria adalah gadis mandiri dan kepala batu. Hidup dengan seorang ibu single parent memaksanya seperti itu. Lalu datang Satria, dengan kondisi keluarga yang hampir senada. Masing-masing melalui kehidupan yang tak sempurna. Membuat mereka saling meleng...