17. Promise Me

129 33 5
                                    

Lelaki berseragam sekolah dengan backpack di bahu samping memasuki lobi gedung perkantoran. Ia tahu jika melalui resepsionis, pasti tujuannya akan dipersulit. Kartu akses yang telah ia miliki selama ini akhirnya bermanfaat. Padahal ia berharap tidak akan pernah menggunakannya.

"Tunggu, mau kemana kamu?" Seorang wanita yang duduk dibalik ruang berkaca menghadang ketika ia sampai di lantai paling atas.

"Saya mau ketemu pak Kalevi."

"Kamu tunggu di sini, saya sampaikan—"

"Nggak perlu!"

Lelaki itu menerobos masuk ke dalam ruang bertuliskan CEO. Mencari-cari penghuni, yang ternyata duduk di balik meja kaca besar. 

Kalevi memutar kursinya. Bibir dengan kepul cerutu itu tersenyum lebar.

"Biar saja." Tangan yang terangkat mengarah pada wanita di ambang pintu. Sosok itu kemudian mengangguk, mundur keluar dan menutupnya.

"Ada yang ingin saya sampaikan," ketus Satria tanpa basa basi.

"Akhirnya kamu ke sini. Apa kabar Satria?"

"Saya yakin anda lebih tahu kabar saya."

Kalevi bangkit, memutari meja kemudian bersandar pada sisi yang menghadap Satria.

"Apa yang ingin kamu sampaikan? syarat apa saja pasti saya kabulkan."

Cowok itu tersenyum miring. "Dunia anda memang penuh persyaratan. Anda pasti tidak tahu apa itu ketulusan."

Kalevi tergelak. "Kamu makin pandai Satria. Tapi saya tulus dengan masa depan kamu."

"Kenapa harus sekarang?"

"Baiklah. Banyak sekali kesalahan saya di masa lalu. Dan—" Kalevi menggeleng-geleng. "Kita tidak bisa memutar waktu, Satria."

"Saya tidak melihat penyesalan anda."

Kalevi menghela napas, membisu karena menyayangkan ucapan sang cucu.

"Bahkan anda tidak pernah mengharapkan saya dilahirkan. Membiarkan Bunda yang hampir tak tertolong karena ditolak semua rumah sakit. Itu ulah anda juga, bukan?" cecar Satria.

"Itu karena hasutan paman kamu, Satria."

"Jika anda benar-benar menyesal, hormati keputusan saya dan bunda. Jangan ganggu kami!"

Kalevi mendekati satria. Wajah tegas itu berganti sayu, memindai sosok yang seperti cermin baginya. Begitu menyesal karena meragukan keberadaan darah dagingnya dahulu.

"Satria. Maafkan saya. Pikirkan baik-baik, saya akan menunggu. Jangan biarkan ayahmu kecewa."

Satria menyeringai. "Saya tidak pernah punya Ayah." Ia mundur selangkah. "Saya harap, anda yang kembali memikirkan tujuan pribadi anda. Dan ... berhenti mengganggu kami."

.

.

.

"Kamu di mana?"

Aria khawatir karena tadi pagi setelah mengantarnya ke sekolah, Satria pamit pergi sebentar. Akan tetapi sampai jam istirahat kedua, ia belum menemukan cowok itu di sudut mana pun.

"Kenapa? udah kangen, ya?" goda suara dari seberang. Akhirnya setelah berpuluh kali menelepon, Aria bisa mendengar suara Satria.

"Satria ih!"

"Iya, sayang. Aku jemput jam pulang, ya?"

"Kamu di mana?!"

"Nanti aku ceritain. Udah dulu, ya. Kangennya di tahan dulu." Terdengar kekehan dari cowok itu.

THE BODY(heart)GUARDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang