24. One Fine Day

102 22 5
                                    

Pautan tangan dua insan tak terlepas meski telah melewati koridor sekolah. Berkali-kali Aria ingin mengurai, akan tetapi Satria tak mengijinkannya berjarak sesenti pun.

Jika berjalan beriringan sudah terbiasa mereka lakukan, saat ini Satria ingin lebih dari itu. Ia ingin seantero sekolah tahu, Satria milik Aria. Sepertinya karena efek 'ngambek' Aria karena terlalu cemburuan.

"Sat, malu tauk. Udah lepas!" bisik Aria, tak berani mengangkat wajah.

"Emang kenapa? Kita, kan udah resmi."

"Iya, tapi nggak harus jadi artis dadakan gini juga kali."

Satria menghentikan langkah. Menaruh tangan di kedua pundak Aria. "Biar semua orang tau, Satria udah ada yang punya. Kalo perlu, aku mau bikin stempel sold di dahi."

"Dasar." Aria tersenyum dengan rona di wajahnya. Mereka berjalan kembali, dan kali ini Satria mengantar sang pacar ke kelas terlebih dahulu.

"Nggak usah lebay gini deh!" Aria manyun sesampai di depan pintu.

"Nggak usah protes terus deh." Cowok itu merapikan sisi rambut yang menutupi pipi Aria. "Semangat, ya belajarnya, Pacarku." Satria berjalan mundur, tak henti menyuguhkan senyum yang menular pada Aria. Gadis itu kembali tersipu.

Dari siku koridor, Ega geleng-geleng kepala melihat pemandangan itu. Saat hendak berbalik karena ingin ke kantin terlebih dahulu, tubuhnya menumbuk seseorang.

"Eh, sori." Lengan Ega tertahan oleh cengkeraman tangan seseorang, karena ia hampir terjerembab ke belakang.

"Maaf-maaf, lo nggak pa-pa?" Tanya cowok yang ternyata Alan, karena sepertinya kepala Ega terkatuk dadanya cukup kencang.

Ega mengusap-usap dahinya. "Enggak." Ia menggeleng lalu mendongak. Seketika dadanya bergemuruh.

"Kok balik, mau kemana?"

"Kantin, mau beli minum dulu."

"Yaudah, yuk."

"Ngapain?"

"Ee ... kebetulan, gue juga aus."

Ega mengangguk, lalu mereka berjalan beriringan. Sama-sama terlihat kikuk.

"Lo mau langsung ke kelas?" tanya Alan sesampai di muka kantin.

"Jam pertama kosong sih, kayaknya gue mau di sini dulu."

"Yaudah, lo duduk aja. Gue beliin mineral atau—"

"Iya, dingin."

Ega menunggu di bangku sudut. Tak butuh waktu lama untuk Alan menyusul duduk di seberang meja.

"Tadi pagi berangkat duluan, kan lo? Kok baru nyampe?" Ega menerima mineral yang telah dibukakan tutupnya oleh Alan.

"Gue ... ke rumah anter obat bokap."

"Gimana, bokap lo udah baikan?"

Alan mengangguk. Menenggak botol mineral sampai habis separo. "Udah nyuruh gue pulang juga."

"Lo mau pulang?!" Ega mengatupkan bibir setelah spontan mengatakan itu.

Alan tersenyum tipis. "Kenapa? Takut kangen?"

"Kepedean."

"Ya gue harus pulang, lah. Malu numpang di rumah cewek terus."

"Kan, keadaan yang maksa lo."

"Gue harus memperbaiki keadaan, bukan malah lari, kan?"

Ega tertegun mendengar sikap dewasa Alan. Tak sadar ia menyuguhkan senyum seraya menatap cowok itu. Membuat mereka saling mengunci netra beberapa detik. Buyar karena Bel sekolah yang berkoar.

THE BODY(heart)GUARDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang