33. Realized

100 25 6
                                    

Aria terperangah mendengar tiap kalimat yang diluapkan oleh Satria. Tentang mengapa Olla begitu membencinya. Mengingatkan kembali pada memori masa kecil yang bahkan tersisa kurang dari lima puluh persen di otaknya.

"Gue dulu sejahat itu, ya Sat?" Kening Aria mengerut, tak percaya dengan perlakuan buruknya terhadap Olla.

"Ya ... kamu masih kecil juga. Belum ngerti—"

"Tapi emang kayaknya aku banyak salah sama semua orang. Termasuk sama mama. Iya, kan?"

"Yang penting sekarang kamu udah jauh lebih baik." Satria menangkup dua sisi pipi gadis itu.

"Maafin, aku. Kamu juga pasti tersiksa selama ini."

"Hei ..." Satria mengusap bulir yang menetes. "Kamu nggak sejahat itu, sayang. Bahkan, nggak kebayang gimana hidup aku kalo kita nggak dipertemukan sama Tuhan."

"Emang sekarang waktunya ngegombal?"

Satria tergelak mendengarnya. "Aku serius. Aku sama bunda nggak bisa seperti sekarang kalo nggak ada tante Hanna dan kamu."

Tangan Aria melingkari tubuh Satria, dibalas dengan dekapan erat. "Aku harus minta maaf sama Olla. Kira-kira dia mau nerima nggak?"

Satria mengusap lengan tangan. "Yang penting kamu udah berniat tulus."

Aria mengangguk, karena pintu Apartemen tiba-tiba dibuka dari luar, gadis itu mengurai peluk. 

"Hai! Satria kamu disini juga?" sapa Hanna dengan kedua tangan menenteng papper bag.

"Belanja lagi, mam?" celetuk Aria.

"Dipaksa sama om Hendra. Mau gimana lagi." Hanna berpose genit. "Yaudah, mama ke kamar dulu, ya. Kalian lanjutin aja."

"Saya juga mau pamit, Tan."

"Yah ... kok pulang," protes Aria seraya mencebik, tangannya menahan kaos Satria.

"Ya ampun, kamu mesti tambah manjain dia, kan, Sat?" ledek Hanna sambil menggeleng kepala. Wanita itu menuju dapur menaruh tas belanjaan di atas meja makan.

Satria tersenyum lebar pada Hanna, lalu menoleh kembali pada Aria. "Besok aku jemput pagi-pagi," lirihnya seraya mengusak pucuk kepala. "Pamit, Tan." 

"Ati-ati, Sat," seru Hanna. Ia menghampiri Aria di sofa. "Ciee yang lagi sayang-sayangnya."

Aria mendelik pada sang mama. "Kurang malem pulangnya!"

"Ih, gitu, ya. Dulu aja protes terus kalo mama sering pergi."

"Dulu itu udah lama banget. Sebelum negara cinta menyerang."

Hanna tertawa, tapi sedetik kemudian diam. Raut wajah itu berubah seketika. Membuat Aria menengok.

"Kenapa, mam?"

"Kamu ... nggak ada masalah, kan sama Olla?"

Alis Aria terangkat. "Eng-nggak. Emang kenapa?"

"Olla udah berhari-hari nggak mau masuk sekolah."

Aria melempar pandangan ke TV, menyembunyikan raut wajahnya. "Sakit kali, Mam."

"Kalian nggak pernah ngobrol gitu? tukeran nomor hape barangkali?"

"Belum." Melihat mamanya terdiam, Aria kembali mengimbuhkan, "Ntar kalo ketemu, Aria minta nomor dia deh."

Hanna tersenyum. "Mama harus berterima kasih sekali sama Satria."

Alis Aria terangkat. "Kok?"

"Satria satu-satunya orang yang berjasa buat mama. Selalu jagain kamu sampe kamu jadi anak baik seperti sekarang." Hanna merengkuh Aria dari samping. Gadis itu tersenyum getir dibalik pelukan.

THE BODY(heart)GUARDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang