POV "AARON"
Bangke!
Tai!
Kampret!
Kutu babi!Sialan!
Tuh mulut emang nyebelin banget. Kalau ngomong demen banget bikin gua sakit hati dan nggak bisa ngebalas tuh bacot."Nyet? Elu nggak apa-apa?" Tanya Intan menatap gua kasihan.
"Apaan?" Gua menolot, menatapnya kesal.
"Elu nggak kasihan ma tuh boneka? Lu tusukin mukanya pake jarum dengan sadis." Cengirnya.
Gua diam.
Kembali beralih menatap maneki didepan gua. Meringis demi melihat wajahnya yang penuh dengan jarum pentul.Anjir!
Sejak kapan gua sesadis itu?
Buru-buru gua ambil tuh jarum satu-satu. Meletakkannya kembali di atas meja.Ehem!
Gua berdehem, menatap Intan yang masih sibuk dengan tugas tata busananya. Kali ini gua ke klub muatan lokal yang isinya mengenai dunia makanan dan fashion."Emang elu kenapa? Muka ditekuk mulu." Tanyanya masih dengan kesibukannya membuat pola.
"Bete aja gua." Bibir ini mengerucut cemberut.
"Gara-gara Boss lagi?" Tanyanya dan tepat sasaran.
"Hem." Gumam gua kalem.
Kali ini gua luruhkan tubuh di atas meja. Menopang dagu, masih dengan keasyikan melihat Intan yang mencoba menyelesaikan prakaryanya
"Kali ini apa?" Tangan itu berhenti menggambar, beralih menatap gua.
"Menurut elu, apa gua harus menerima semua hal gila ini?" Tanya gua ragu.
Jujur ucapan Adzar sepuluh menit lalu membuat otak dan hati gua mengalami krisis mental mendadak. Ucapan itu menempel di benak.
"Calon laki elu"
Kata-kata itu terasa menusuk, menyadarkan gua jika pada akhirnya jalan itu harus gua lalui."Elu cinta sama dia?" Tanya Intan.
Gua menggeleng.
Menatap Intan sendu. Karena hati ini masih berada pada tempatnya. Hanya saja tempat itu perlahan mulai tak nyaman."Ralat, maksud gua menurut elu, elu bisa jatuh cinta nggak sama sih Boss?" Terang Intan.
Sunyi.
Gua bingung harus memberi jawaban apa. Karena jujur, gua takut jika mulut ini mengatakan sesuatu yang salah dan berakhir menjadi senjata makan tuan."Elu bisa lepas nggak dari semua ikatan yang dibuat mereka ke elu dan Boss?" Tanya Intan lagi.
Gua masih diam.
Menit berikutnya menghela napas panjang. Merasakan jika beban itu terlalu berat untuk gua pikirkan."Tidak." Jawab gua pelan, menggeleng perlahan.
Itu mustahil.
Membatalkan pertunangan?
Menghancurkan rencana mereka? Gua nggak punya kekuatan buat ngelakuin itu semua."Jadi?" Alis itu naik keatas, menatap gua intens.
"Gua harus belajar menerima kenyataan." Jawab gua akhirnya.
Bibir itu tersenyum.
Beranjak dari tempatnya duduk. Melangkah mendekat, mengkikis jarak diantara kami berdua."Ron, gua percaya kok kalau elu bisa menemukan kemana hati elu akan berlabu." Terangnya, mengusak rambut gua sayang.
"Tapi gua nggak punya keberanian buat memulai." Seru gua kalem.
Ia kembali tersenyum.
Mencubit pipi gua gemas. Tuk kemudian duduk di kursi depan gua. Mengikuti sikap gua.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIG BOSS
أدب المراهقينBagaimana rasanya kalau elu dicium musuh bebuyutan elu? Bahkan itu adalah ciuman pertama elu. Elu membencinya selama dua tahun ini, karena keberadaannya meredupkan aura elu yang hampir tenggelam. Seberusaha apapun elu tetap satu kelas dengannya sej...