🔸Ruang Hampa yang Terbuka

358 48 14
                                    

POV "AARON"

Sialan!
Hari ini Adzar memang menyebalkan sekaligus aneh. Tuh tiang listrik lengket melebihi perangko.

Sumpah!
Gua mati kutu.
Bahkan saat gua sedang berkumpul dengan Avenga. Tuh jerapah ngekor kayak anak ayam.

Sial nggak sih?
Nih gua punya laki apa satpam coba? Berasa jadi anak presiden Amerika gua kalo kayak gini modelnya.

"Kusut amat sih muka elu?" Dino menatap takjub.

Gimana nggak?
Gua yang biasanya demen nyari ribut malah bingung gimana bikin tuh jerapah minggat. Intinya tuh kepala kerasnya melebihi batu.

"Persiapan ujian semester elu gimana?" Tanya BinBin dengan tangan sibuk mengaduk jus alpukat.

"Stop! No! Mood gua lagi anjlok dan elu nambahin otak butek gua dengan pertanyaan elu yang mengerikan itu?!" Pekik gua makin kesal.

Bibir itu tersenyum.
Sangat tampan seperti biasanya. Mata cerdasnya selalu berhasil membuat segalanya terasa menyenangkan.

"Kurang dari enam bulan kita bukan lagi anak SMA. Jadi Ron, pikirkan dengan baik kemana elu akan bergerak mengikuti angin." Ucapnya dengan nada tenang.

Adzar tergerak.
Wajah bosannya berubah terkejut demi mendengar ucapan BinBin yang entah bagaimana, benar-benar mengerikan.

"Elu jadi Aaron Mahendra dengan nama belakang suami elu. Atau menundanya demi mengejar mimpi yang waktu kecil elu anggap dunia sakral seorang Aaron Nugraha." Lanjutnya membuat hati ini tertohok dalam.

Sialan!
BinBin tidak pernah lupa dengan mimpi kecil gua yang seharusnya dengan mudah dapat di raih. Hanya saja segalanya telah berubah saat ini.

Gua bukan Aaron Nugraha seperti 10 tahun yang lalu. Anak SD yang ingin menikmati sebuah petualangan dengan gitar dan musik di tangannya.

Gua menelan ludah.
Meraih jus wortel milik Adzar, menyesapnya perlahan sembari mengatur emosi. Memastikan mampu menguasai diri dari sebuah serangan.

"Omongan elu nyeremin, Bin." Dinno bergidik ngeri.

"Gua ngomong apa adanya. Dan kalian semua juga punya mimpi. Bukan kah sebaiknya sekarang kita mulai berpikir, mengejar mimpi itu, mengubah arah mengikuti arus kehidupan atau tetap bertahan?" Wajah itu serius.

"Baiklah! Bahasa kita udah terlalu berat, kasihan otak Aaron yang pas-pasan. Elu nggak lihat tuh muka udah pucat?" Lewi mencoba menghentikan BinBin untuk berceramah.

"Oke." Setuju BinBin sembari mengangkat kedua tangannya untuk menyerah.

"Ujian, liburan, natalan damai yang sepertinya bakal berantakan. Gua menyerah."

Duk!
Gua menjatuhkan diri dengan kening ini menyentuh meja. Mengabaikan rasa sakitnya saat otak terasa mau meledak.

"Unyuk bisa belajar bareng abang BinBin. Meksi tidak satu sekolah tapi kan kalian satu jurusan." Suara itu memenuhi ruang santai rumah BinBin.

Sunyi.
Hanya tatapan Adzar yang berubah mengerikan setelah mendengar saran mama BinBin. Kali ini gua menyeruput jus wortel hingga habis.

Ehem!
BinBin berdehem. Sadar jika dirinya akan segera dalam masalah besar jika tidak mengatakan sesuatu.

"Nggak perlu ma. Laki unyuk jauh lebih pintar dari BinBin." Tegasnya tersenyum tak nyaman.

"Iya tante, Dinno dengar kalo Boss juara umum di sekolahnya." Untungnya Dinno memberikan dukungan.

"Bener tante. Unyuk udah ketemu pawang masa depannya. Jadi kita nggak perlu lagi khawatir sama nilai akademiknya." Genno nyengir, melirik kearah gua minta bantuan.

BIG BOSSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang