🔸 Setitik Lembaran Hitam Sang Masa Lalu

908 104 42
                                    

POV"AARON"

Cans.
Caps.
Masker.
Glove dan jas hujan.

Gua membeli beberapa bahan dalam jumlah banyak. Sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Membiarkan bang Abigael berdiri bersama diam.

Ia menunggu dengan setia.
Memastikan semua yang gua butuhkan terpenuhi. Mengabaikan jika ia sedang ada kelas terakhir di kampusnya.

Lian tak jadi mengantarkan.
Azra sibuk pacaran.
Jadi hanya bang Abigael yang bisa gua ganggu. Menilik dari kebiasannya yang nggak akan mungkin ngebiarin gua ke pasar sendirian.

"Elu di mana?" Suara bang Abigael memecah konsentrasi gua memilih pilox.

"Oke. Elu tunggu di sana aja." Lanjutnya.

Gua menghentikan kesibukan.
Bangkit berdiri sembari menatap bang Abigael yang telah menutup ponselnya. Menatapnya meminta jawaban.

"BinBin di tempat parkir. Ntar elu balik bareng dia aja." Terangnya.

"Hem." Angguk gua paham.

"Udah semua?" Tanyanya.

"Warna hijaunya masih kurang." Jawab gua cepat.

"Udah gelap. Sebaiknya kita balik sekarang. Mama sama papa udah di rumah. Sisanya besok biar abang yang cari." Jelasnya lagi.

"Gua ke pasar sendiri aja besok." Tolak gua cepat.

"Nggak!" Sakleknya dengan tatapan tajam.

"Gua bukan bayi bang!" Protes gua.

"Pasar ramai. Gua nggak bisa biarin elu pergi sendiri." Tegasnya.

Anjir!
Sialan nih abang bangke!
Gua menatapnya kesal, mengambil keranjang yang penuh dengan pilox. Meninggalkannya begitu saja.

"Biar Boss yang nemeni elu besok." Putusnya.

"KOKO?!" Pekik gua kesal.

Bangke!
Gua diabaikan.
Ia berjalan menuju kasir. Membayar semua belanjaan dengan menggunakan ATM-nya.

"Kasih ini ke paman. Bukti belanja." Terangnya memasang wajah watados.

"Gua minta antar Pilga besok." Nego gua.

"Gua abang elu. Elu pikir gua bakal percaya, hah?!" Mata tajamnya terpasang mengerikan.

"Serah!" Putus gua mengalah, meninggalkannya dengan semua belanjaan yang gua beli.

Bodo'
Bete gua!
Bener-bener lebai tuh Abigael Nugraha.
Gua bukan anak TK yang selalu butuh pengawasan.

Kaki ini melangkah dengan cepat. Menyusuri jalan dengan hati dongkol. Mengabaikan panggilannya. Kebiasaan buruk yang tak pernah bisa gua hilangkan saat sedang marah atau kesal.

Lian.
Gua.
Kebiasaan buruk kami sama saat sedang marah. Berjalan tak tentu arah bahkan tersesat dengan tidak elitnya karena mengikuti kemelut hati.

Brak!
Gua terdiam.
Menghentikan langkah.
Menatap sebuah kecelakaan yang terjadi tepat di depan mata ini dalam beku.

Darah.
Otak ini ngadat.
Dada ini mendadak sesak.
Gua kehilangan fungsi pernapasan dengan detakan jantung yang tak semestinya.

Merah pekat.
Mengalir segar di jalan beraspal bahkan sebagian menggumpal. Tubuh itu pun penuh dengan lumuran darah.

Dor Dor Dor
Gua megap-megap dengan tubuh bergetar. Bayangan itu menghitam berubah dengan pemandangan lain yang tak gua pahami.

BIG BOSSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang