POV "ADZAR"
Ribet.
Banyak hal yang harus diselesaikan.
Tak ada jedah bahkan sekedar cela untuk mencuri pandang.Hati ini gelisah meski otak dan fokus tetap pada titik yang sama, kegiatan bakti sosial. Hanya saja perasaan merindu tak mampu gua abaikan begitu saja.
Gua merindukannya.
Hati ini seolah hampa tanpa melihatnya.
Berat bahkan waktu terasa berjalan begitu lambat hanya untuk menunggu sebuah akhir cerita."Ketos! Ini dibagiin sekarang?" Tanya Malvin.
Mata ini beralih, menghela napas demi memandang kardus ukuran sedang di atas meja yang sesaat lalu diteriakkan Mayda dengan tidak elitnya.
Gua?
Kapan coba gua punya waktu buat nyiapin snack untuk dibagikan ke anak-anak?
Nih mereka ngaconya udah kebangetan kali ini.Buat ketemu tunangan dalam dua jam ini aja gua sulitnya minta ampun. jadi mana sempat gua mikirin buat bagiin snack? Ngelawak juga nggak harus segokil ini juga.
"Serahlah." Seru gua akhirnya.
"Yaelah bang Boss. Suram amat muka elu. Yang nganterin nih kardus aja senengnya minta ampun. Lha bang Boss yang punya hajat malah kayak orang korban banjir aja yang rumahnya habis kena arus si bandang." Sarkasnya.
"Emang siapa sih yang kasih?" Gua mulai tak sabaran.
"Kak Aaron?" Jawaban itu berakhir dengan nada tanya.
"Aaron?!" Kali ini nada ini naik satu oktaf karena terkejut.
"Hem. Dia bilang bang Boss yang nyiapin semuanya." Angguknya yakin dengan wajah polos.
"Oh." Gua mengangguk, mulai paham situasi.
"Trus jadi dibagiin kagak?" Malvin tak sabaran.
"Ya udah elu bagiin aja. Gua pergi bentar. Elu berdua urus di sini." Seru gua sembari beranjak dengan buru-buru.
Sialan!
Rindu ini semakin dalam dan bisa meledak kapan saja jika gua tak segera mendapatkan obatnya. Ya, cukup melihatnya sebentar saja. Gua rasa segalanya akan baik-baik saja."Anjir! Kok kosong?! Kemana mereka semua?" Kaget gua saat melihat kelas 1B tak berpenghuni.
Kaki ini kembali melangkah dengan cepat, berjalan menyusuri koridor sekolah. Tujuan gua adalah ruang guru, meminta informasi keberadaan seluruh makhluk kelas 1 B.
Tap!
Tubuh ini mendadak beku, melihat keindahan yang selalu gua rindukan berdiri di dalam sebuah ruangan. Tepatnya di depan piano orgen, tangannya bergerak lincah memainkan setiap tutsnya.Deg deg deg deg.
Jantung ini bertalu.
Suaranya sangat merdu untuk seorang Aaron yang biasa berteriak dengan lagu dangdut yang tak bernada.Tak ada sumbang.
Tak ada kesalahan.
Setiap lirik ia nyanyikan dengan sangat benar. Bahkan tekanan pada tuts pun terasa begitu lembut.Ada bit bahkan sedikit hiphop ia lantunkan lagu anak-anak yang gilanya membuat seisi kelas bernyanyi dengannya. Mengikuti iramanya bahkan auranya terkesan begitu kuat dan kharismatik.
Itu Aaron?
Gua nggak lagi delusi kan?
Atau mungkin mata ini butuh tambahan kacamata?Sejak kapan?
Kenapa banyak hal mengejutkan yang Aaron tunjukkan ke gua?
Sisi mana lagi yang belum gua temukan darinya?Yah.
Itu memang lagu anak-anak. Tapi gua nggak sebodoh itu buat sadar kalau Aaron itu bisa bernyanyi. Diri ini sudah terbiasa dengan mereka yang punya banyak bakat di musik dan suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIG BOSS
Fiksi RemajaBagaimana rasanya kalau elu dicium musuh bebuyutan elu? Bahkan itu adalah ciuman pertama elu. Elu membencinya selama dua tahun ini, karena keberadaannya meredupkan aura elu yang hampir tenggelam. Seberusaha apapun elu tetap satu kelas dengannya sej...