"KAK ATHAYAAA!! AAAAA"
"ATHAAAA!!"
"ATHAYAAAA!!"
Jina dan yang lainnya berteriak saat setelah Athaya tertabrak mobil itu dan terhempas cukup jauh. Kemudian Jina pun langsung berlari kearah Athaya.
Di sana, Athaya sudah hampir tak sadarkan diri karena darah terus mengalir dari kepala belakangnya akibat kepalanya membentur trotoar cukup keras. Jina pun segera memegangi tangan Athaya dan mengangkat kepala kakaknya itu ke pahanya. Ia tak peduli dengan darah Athaya yang mengotori pakaiannya.
"AAAAA, KAK ATHAYAAA!!"
"Kakak harus bertahan. Kakak ga boleh tinggalin Jina." seru Jina sembari memegangi tangan Athaya yang sudah berlumuran darah.
"Jhi na, ma af khan kha khak ya. Se la ma i ni, kha khak be lom bi sa men jha di kha khak yang se la lu kha mu ha rap khan"
(Jina, maafkan Kakak ya. Selama ini, Kakak belom bisa menjadi Kakak yang selalu kamu harapkan)
Tangan Athaya terangkat hendak mengusap wajah Jina. Lalu, Jina pun memegangi tangan Athaya dan menempelkannya pada wajahnya.
"Ngga kak, hiks, harusnya Jina yang minta maaf sama kakak, hiks. Selama ini hiks Jina selalu jahat sama kakak. Kak Athaya itu udah yang paling sempurna di dunia ini, tapi aku nya aja yang terlalu kemakan sama gengsi. Kakak harus bertahan ya, kita kerumah sakit sekarang. Hiks"
"Kha khak su dah me ma af khan kha mu, Na. Kha khak se nang, a khir nya kha mu su dah mu lai me ne ri ma kha khak se ba gai kha khak kha mu. Se kha rang, ber ba ha gi a lah ya, Na. Ma af khan kha khak se kha li la gi, khar na khi ta thi dak a khan bi sa ber sa ma la gi"
(Kakak sudah memaafkan kamu, Na. Kakak senang, akhirnya kamu sudah mulai menerima kakak sebagai kakak kamu. Sekarang, berbahagialah, Na. Maafkan kakak sekali lagi, karna kita tidak akan bisa bersama lagi)
"Ngga kak, kita masih bisa sama-sama lagi. Kakak bertahan ya. Ayah, Bunda, Kak Abim, Akmal, Juna, Zie tolong panggil ambulan, hiks! Sebentar ya kak, biar mereka panggilin ambulan dulu terus bawa kakak ke rumah sakit." Abim pun langsung merogoh saku celananya untuk mengambil ponselnya dan menelpon ambulan. Bunda tidak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali menangis di pelukan ayah karena tak sanggup melihat putranya terluka parah seperti itu.
"Thi dak u sah Jhi na, kha khak ra sa, wak tu kha khak cu kup sam pai di si ni. To long ja ga a yah dan bun da ya"
(Tidak usah Jina. Kakak rasa, waktu kakak cukup sampai disini. Tolong jaga ayah dan bunda ya)
"Ngga kak, kakak pasti kuat. Mana yang sakit kak? Hiks, semua nya sakit ya? Sebentar ya kak ambulan sebentar lagi datang buat bawa kakak ke rumah sakit"
"Kha khak per gi ya, Na. Dan i ngat sa tu hal, kha mu a da lah wa ni ta ke du a ya ng kha khak sa yang se la in bun da. Ja ga di ri kha mu ba ik ba ik ya"
(Kakak pergi ya, Na. Dan ingat satu hal, kamu adalah wanita kedua yang kakak sayang selain Bunda. Jaga diri kamu baik-baik ya)
Tangan Athaya sudah melemas dan terjauh kebawah. Mata Athaya sudah mulai terpejam rapat.
"Kak, Kak Athaya. KAK ATHAYAA!! AAAAAA"
Jina memeluk tubuh Athaya yang sudah tak bernyawa. Bunda sudah pingsan di pelukan Ayah karena Putra kesayangannya pergi. Zie ikut menangis di pelukan Akmal. Dan Abim, juga ikut menangis karena ia kehilangan sahabatnya. Ia merasa kehilangan untuk yang kedua kalinya.
"KAK ATHAYA BANGUN!! KAKAK DENGAR JINA NGGA?! HIKS."
"Klok kakak ga bangun, Jina bakalan marah sama kakak dan ga mau anggap Kak Athaya itu Kakak Jina lagi. Hiks"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hadiah Terakhir Kakak [END]
FanfictionApakah dengan adanya perbedaan akan membuat kerugian bagi siapapun? Di dunia ini kita hidup dengan adanya perbedaan. Tidak ada yang sempurna selain sang pencipta sendiri. Apa yang membuat kalian merasa malu? Apa yang membuat kalian merasa dirugikan...