022. Maafkan Kakak Jina

931 107 8
                                    

Athaya kini sudah duduk di kursi sebelah Bunda sembari terus memegangi tangan Bunda. Ayah, Jina, Abim, Juna dan juga Minji duduk di sofa panjang yang tersedia di ruangan Bunda. Mereka semua sama-sama terdiam menatap Bunda sendu.

"Kak Naufal, ayok kita pulang. Minji sudah mengantuk sekali" ujar Minji pada Athaya dengan suara khas orang ngantuk.

"Pulang sama Kakak yuk, biar Kakak kamu disini dulu nemenin Bundanya" seru Abim pada Minji dan Minji pun mendongakkan kepalanya keatas, menatap Abim.

"Minji mau nya sama Kak Naufal aja. Kak Naufal, ayok kita pulang. Minji sudah mengantuk" ujar Minji dengan sedikit merengek.

"Dengerin Kakak, Bundanya Kakak kamu lagi butuhin dia sekarang. Sekarang ayok pulang sama kakak yuk" bujuk Abim lagi.

"Ngga mau, Minji maunya sama Kak Naufal pulangnya." Rengek Minji lagi. Athaya pun menengok kearah Minji dan berusaha untuk menjelaskan kepada Minji, namun di hentikan oleh Ayah.

"Sudah, Nak. Kamu pulang dan antar adik kamu dulu. Besok kamu bisa kemari lagi" seru Ayah. Athaya pun menatap Bunda dan Bunda pun menganggukan kepalanya pelan, mengijinkan Athaya pulang dulu kerumahnya.

"Ayok Kak," Minji pun bangkit dari duduknya dan menarik-narik baju Athaya. Athaya pun akhirnya bangkit dari duduknya lalu berpamitan dengan Bunda dan juga Ayah.

"A khu per gi du lu ya, Bhun. Be sok a khu ber jan ji, a khan da tang la gi khe si ni"

(Aku pergi dulu ya, Bun. Besok aku berjanji akan datang lagi kesini)

Bunda hanya menganggukan kepalanya mengiyakan Athaya.

"A yah, Jhi na, a khu per gi du lu ya"

(Ayah, Jina, aku pergi dulu ya)

"Iya nak, hati-hati ya" ujar Ayah. Jina hanya terdiam tak menjawab Athaya. Ia sebenarnya tidak ingin Athaya pergi, tapi dia tidak sanggup menghentikannya.

"Tha, bareng aja sama gue sama Juna. Kita juga udah mau balik" seru Abim yang juga ikut berdiri dari duduknya. Athaya hanya terdiam, tak menjawab Abim. Dia hanya terfokuskan pada Bunda dan tak ingin pergi meninggalkannya. Begitu juga dengan Bunda sebenarnya. Dari tatapan Bunda sudah terlihat jelas kalau dia tidak ingin Athaya pergi.

"Om, Tante, Jina, kami juga pamit pulang ya" ujar Abim dan diangguki oleh Juna.

"Iya Abim, Juna, terima kasih ya" ujar Ayah.

"Iya om, sama-sama"

Lalu, Abim, Juna, Athaya, dan juga Minji pun keluar dari ruangan Bunda. Jina hanya terdiam, dia masih belum berani untuk sekedar berbicara pada Athaya. Ia sebenarnya ingin menyesali perbuatannya selama ini kepada Athaya. Dia sudah cukup kurang ajar padanya. Apalagi fakta sebenarnya adalah kalau Athaya itu bukan Kakak Kandung Jina. Mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali.

Kenapa Tuhan selalu memberikan kenyataan yang begitu pahit pada dirinya. Ia semakin merasa tidak bersalah pada Athaya. Ia juga bahkan tidak bisa memaafkan dirinya sendiri. Dirinya hanya di landa dengan rasa gengsi yang tinggi. Seharusnya dia senang punya Kakak seperti Kak Athaya walau dia tidak sempurna dan kenyataannya bukan kakak kandungnya sendiri. Athaya adalah sosok kakak yang baik, mandiri, kuat walau sering di sakiti. Apalagi dulu sewaktu masih sekolah, bisa dikatakan Athaya sudah kenyang dengan bullyan di sekolah.

Memangnya salah jika ada orang yang seperti Athaya lahir di dunia ini? Bahkan jika disuruh memilih, mungkin Athaya juga tidak ingin dilahirkan seperti ini. Tapi apalah daya, kita tidak bisa menentang takdir dari Tuhan sendiri.

💫💫💫

1 Bulan Kemudian

Hadiah Terakhir Kakak [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang