#5 Insiden

31 13 103
                                    

Happiness Is the Best Healer

"Haduduhhh ...."

"Shssshhs ... bokongku ...."

Padat seperti otot, keras seperti kehidupan. Itulah yang bisa kugambarkan sekaligus menjadi alasan mengapa aku sangat benci dengan sofa milik kakek.

Setelah sekitar empat jam lamanya, aku duduk berbincang di sofa batu sialan itu, akhirnya aku pun membulatkan tekad untuk pamit pulang dari rumah kakek. Aku terpaksa harus melakukannya, karena tak hanya kalian, tapi seorang dokter juga perlu menjaga kesehatan bokongnya.

Kakek sebenarnya adalah orang yang betah sekali berbincang-bincang. Apalagi kalau dengan orang yang sudah ia kenal betul seperti diriku ini. Jika sudah sempat mengobrol, jangan harap aku bisa menyudahinya begitu saja. Akan selalu ada pertanyaan dan topik yang kian bermunculan dari kakek. Bahkan untuk menyudahi obrolan, aku mesti menyiapkan alasan yang benar-benar meyakinkan dulu agar beliau bisa mengerti.

-----

Kebahagiaan Adalah Obat Terbaik

-----

Tentu saja, sehabis dari rumah kakek, aku langsung bergegas pulang menuju vila.

Selama perjalanan yang mendaki ini, tanganku masih saja mengelus-elus bokong yang terasa keram akibat terus-terusan duduk tadi. Semenjak aku meninggalkan rumah kakek hingga saat aku berjalan sekarang ini, rasa keramnya masih membekas.

"Ahhh, bakal gawat kalau aku tetap mengobrol di sana hingga sore. Bisa-bisa beku ini," keluh kesahku. Seperti biasa tiap pulang dari rumah kakek.

Akhirnya, setelah beberapa menit berjalan, lorong vila telah tampak depan sana.

Sedikit lagi bagiku untuk sampai ke vila. Hanya tinggal belok ke jalan setapak kecil yang ada di sebelah kanan itu, lalu menyusuri jalannya hingga ke ujung sejauh ±50 meter. Di situlah letak vilaku.

Lorong jalannya sendiri merupakan jalan alami, tidak dicor maupun diaspal. Ketika musim panas, lorong tersebut akan ditumbuhi rerumputan pendek. Namun di kala musim dingin seperti sekarang, jalanannya akan begitu lembab. Karena itulah, akan terasa sangat licin bila berjalan di sini.

Seperti yang kuterangkan sebelumnya, hampir tak ada orang yang berlalu lalang di lorong ini. Tak heran juga, lagipula di dalam jalan setapak ini hanya ada vilaku dan beberapa vila milik orang lain yang sayangnya sudah lama di tinggalkan dan tak terurus dengan baik.

Kudengar-dengar dari pak Samada, pemilik sekumpulan rumah sewa ini, alasan utama kebanyakan dari mereka pindah adalah dikarenakan lokasi vila yang tidak strategis. Selain itu, alasan berikutnya adalah soal jalan masuk menuju kawasan vila yang tak mampu terurus dengan baik oleh pak Asano. Mobil atau bahkan motor pun sangat kesusahan untuk masuk ke dalam.

****


Dingin-dingin seperti ini, selalu timbul dalam benakku untuk bermalas-malasan di atas kasur. Bahkan halusnya seprei bermotif bunga biru langit itu sudah terbayang dalam otak kepalaku ini.

Bagaimana kalau sebelum ke gym aku tidur siang dulu? begitu hatiku bergumam.

Namun, jauh sebelum tercapai angan-anganku, hendak melangkah menuju jalan setapak tersebut, langkahku tiba-tiba saja terhenti.

Tanpa adanya aba-aba, tanpa sedikitpun aku mengetahui apa yang sedang terjadi, terdapat seseorang dari kejauhan lorong yang terlihat sedang menuju ke arahku. Hal yang membuatku lantas panik, sosok itu sedang menuju kemari dengan mengendarai sepeda dengan kecepatan tinggi. Laju sepedanya benar-benar tepat sedang menuju ke arahku!

Happiness is the Best HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang