#23 Bingkisan

3 1 1
                                    

"*Tadaima ...."

"*Okaeri!"

Aku tak melihat wajah ibu, melainkan hanya mendengar suaranya. Walau begitu, hanya dengan itu, sudah cukup membuatku tahu bahwa kepulanganku disambut kembali dengan hangatnya senyuman ibu.

Aku melepas sepatuku dan juga kaus kaki longgarku yang sudah tampak kusam. Keduanya kutaruh begitu saja di rak sepatu, dan aku lantas berjalan langsung menuju dapur, tempat di mana suara ibu terdengar menyambutku barusan.

Selama berjalan menuju dapur, tak terasa ransel yang dari tadi kugenggam besertaku, kini sudah berlabuh di atas sofa sesaat aku melintasinya.

Kutemukan sosok ibuku kala itu, sedang berdiri di depan kitchen set, dan mengenakan pakaian yang cukup bagus. Sweater berwarna putih dengan rona biru lembut dengan bawahan rok plisket pink se-betis. Kombinasi yang sangat manis untuk ibu. Namun begitu, aku tak melulu fokus pada setelan itu, sebab nyatanya aku lebih kepo dengan apa sedang ibu lakukan di sana.

Aku pun santai menghampiri ibu, lalu dari sebelahnya, kudaratkan telapak tanganku ke pundaknya pelan. Saat itu mataku langsung tertuju pada tangan ibu, yang ternyata sedang khusyuk membungkus sesuatu dengan sebuah kain furoshiki.

 Saat itu mataku langsung tertuju pada tangan ibu, yang ternyata sedang khusyuk membungkus sesuatu dengan sebuah kain furoshiki

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*Gambar hanya sebagai contoh

Furoshiki sendiri merupakan istilah untuk kain Jepang yang bermotif khas, yang sering dipakai untuk membungkus sesuatu, baik itu bekal, makanan kotak, pakaian, dan bahkan dapat digunakan sebagai alas meja. Ukurannya sendiri bervariasi, tergantung penggunaan. Yang dipakai ibu tampaknya lumayan besar untuk dijadikan taplak meja.

"Eh? Oka-san ..., lagi buat apa tuh?"

"Pakai dibungkus pakai furoshiki pula. Aku penarasan. Isinya apa, Oka-san?" sambungku menambah pertanyaan.

"Ah, ini, Hi-chan ..."

"Berisi beberapa set pakaian, kaus kaki dan topi hangat bayi, Sayang," sambung ibu sembari mengelus-elus ikatan kain pada kotak kardus tersebut.

"Baju bayi?" Aku bingung sesaat.

"... Oh! Pasti untuk Om Jiro, ya?" Tak butuh waktu yang lama untuk akhirnya aku menyadarinya.

Ibu menggangguk. Sekali lagi ia menoleh padaku dan menyengir gembira.

"Si kecil sudah lahir, lho."

"Wah! *Akachan omedetou!"

*Ungkapan sukacita perihal kelahiran bayi.

Aku turut senang mendengar kabar baik ini, karena si adik itu, ia akan jadi adik sepupu pertamaku setelah sekian lama aku menjadi yang terbungsu. Wajahku dan ibu pun spontan berseri-seri. Tawa feminim terdengar dari tiap kami.

Bersamaan dengan itu, kudengar suara pintu membuka. Ternyata sumber bunyi itu adalah ayahku yang baru saja keluar dari toilet. Matanya seketika langsung tertuju padaku. Namun tentu, mata yang ku bicarakan ini sudah berubah dari yang biasanya kuterima.

Happiness is the Best HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang