#22 Aku Bahagia!

5 1 0
                                    

Beberapa hari setelahnya,
Kamis, 17 Desember 2015,
Sepulang sekolah,

Hari-hari yang progresif namun tawar kembali berlalu, terus berlalu. Di tempat ini, lagi-lagi aku bersua dengan letih yang tiap sore mampir di sekujur badan. Lagi-lagi, sepulang sekolah, seorang diri.

Melangkah keluar kelas, untuk kesekian kalinya aku melintasi koridor ini sembari meresapi pemandangan di kananku. Jika ada yang bertanya padaku, ada apakah gerangan di sisi kanan, maka aku bisa bilang yang ada di lapangan saat ini ialah sekumpulan stand kecil, hias-hiasan berpita dan berwarna, spanduk-spanduk, dan satu gapura handmade yang semuanya sudah selesai dirancang, namun masih belum tersusun di tempat yang sebagaimana mestinya.

Di hari ini, mereka sudah menyiapkan semua properti di lapangan. Dan besok jadi hari terakhir buat menyusun semua hal sesuai dengan konsep festival budaya yang sudah diusung oleh OSIS dan masing-masing kelas. Segala hal akan ditata rapi sedemikian rupa, sekaligus semenarik mungkin.

Sedikit beralih dari festival yang akan datang. Mengenai murid yang pergi-pulang sekolah, selama musim dingin ini semuanya masih ditekankan untuk berjalan kaki ataupun angkutan umum. Alasannya tentu karena licinnya permukaan jalanan. Terlebih, Miyako memang merupakan tempat di mana kau bisa dengan mudah menemukan jalan curam yang berliku. Berbahaya.

Musim semi baru akan datang sekitar 3 bulan dari sekarang. Saat itulah aku baru bisa membawa sepeda lagi ke sekolah. Lamanya penantian, tentu membuatku merasa rindu akan sepedaku. Kubayangkan jika saja aku berangkat ke sekolah dengan sepeda, pasti kulit wajahku takkan kedinginan dalam waktu yang lama seperti kejadian tadi pagi. Namun apalah daya, menjaga nyawa memanglah lebih utama daripada sekedar menghindari dingin yang hanya menemani beberapa menit lebih lama.

Sembari melangkah keluar gerbang, aku senantiasa menggenggam tas tanganku erat dengan tangan kanan, berusaha menjaga kehangatan yang dihasilkan dari tekanan antara telapak tanganku dan tali tas, sementara yang kiri mengepal di antara dinginnya hawa.

//
Happiness Is The Best Healer
//


Ada kalanya ketika aku hampir sampai di rumah, mataku terpancing begitu saja untuk memandangi pucuk tanaman Fraxinus Lanuginosa yang begitu ramai akan bunga-bunga kecil yang tumbuh lebih tinggi dari pagar tembok rumahku.

*gambaran umum

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*gambaran umum

Terlintas di pikiranku saat memandanginya, ingatan akan masa lalu. Bahwa pohon gugur itu tumbuh di pekarangan rumah, tidak lain merupakan hasil kinerja tanganku sendiri. Ya, akulah yang menanam pohon itu, dengan pengamatan penuh dari ibuku sendiri.

Jika saat itu aku bercerita tentang ayahku, kali ini aku akan sedikit bercerita tentang ibu.

Ibuku sejak dulu sangat gemar menanam tanaman. Kecintaannya akan tumbuh-tumbuhan betul-betul tergambar dari wujud ibu yang penyabar dan telaten. Selain itu, ibu juga punya sisi artistik. Ia sangat pandai dalam hal menata pekarangan rumah atau membuat taman. Bahkan mau sekecil apapun halaman rumah, pasti akan terlihat asri di tangan ibu.

Happiness is the Best HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang