#20 Memang Tidak Ada

7 1 12
                                    

...

...

Apa yang kau pikirkan? Berkata seperti itu padaku.

Apa maksud dari perkataanmu itu? Mengapa kau buat seakan diriku buta untuk mengerti?

Tiba-tiba saja aku menangis. Aku tidak mengerti mengapa. Semua terjadi karenamu.

Meminta maaf dengan penyataan-pernyataan yang memelas? Kau benar-benar mengincar batinku, bukan?

Apa yang mungkin kau harapkan?Kau merasa tidak enak. Lalu apa yang kau mau aku perbuat?

Memaafkanmu?

Dengan jatuhnya air mata ini, mungkin kau akan berpikir bahwa aku ternyata tidak lebih dari sekedar perempuan yang sangat rapuh, selalu bersembunyi dibalik topeng kearoganan dan keras, jauh dari apa yang kau pikirkan selama ini.

Memang, aku tak bisa mengungkiri itu. Semakin aku tumbuh, semakin aku menyadarinya. Aku sudah tidak sekuat dulu lagi. Aku jadi lebih sering murung dan menyendiri belakangan ini.

Akan tetapi, aku katakan padamu ....

Wajah yang sembab ini, mata yang basah ini, suara yang tak mampu keluar ini, semuanya menjadi yang pertama kali kutunjukkan pada orang selain keluargaku. Setelah kupikir-pikir lagi, alangkah luar biasa dirimu.

Dan lagi, mengapa saat ayahku yang dalam keadaan seperti itu, kau malah nekat mengungkit sesuatu perihal vilamu itu? Apakah niatmu membantu ayahku hanya sebagai perantaramu agar bisa mengungkapkan itu semua padaku?

Asal kau tahu, kehilangan harapan untuk menganggap gazebo itu adalah milikku saja sudah sangat memukulku. Apalagi ditambah dengan kata-kata terakhirmu yang sungguh membuatku jengah. Rasanya begitu kuat ia memukulku mundur, sampai-sampai kau perbolehkan pun aku kembali, aku tak yakin bisa kuat untuk melangkah ke tempat itu lagi.

Karena memang begitulah diriku. Aku tidak sekuat dulu.

----
Happiness Is the Best Healer
----

Senin, 14 Desember 2015

Malam berlalu, pagi menjemput. Ibu membantuku buat tenang. Semua derai tangisan telah menguap habis ke langit penghiburan. Kini, tersisa aku di sini, yang lagi-lagi bersiap menuju sekolah, menjalani rutinitasku sebagai seorang pentobat yuvenil dengan tenaga mata seadanya, yang bahkan kelopaknya sedang berkedut saat ini.

Kabar terkini, festival di hari Minggu kemarin resmi kuakhiri dengan kemalangan. Begitu cepat malam itu berlalu, begitu cepat emosiku bermain. Sedih yang dibalas senang, senang yang dibalas antusias, hadirnya kepuasan, syok, hingga kesedihan yang lagi-lagi datang menjemput. Sesungguhnya, hanyalah jurang yang kudapat di akhir, di akhir siklus kalbu ini.

Mengenai Desember yang berjalan semakin jauh, tak heran hingga kini pun jalanan kota Miyako makin bersalju ria. Perjalanan menuju sekolah, gundah gulana ... namun tentu, tak separah semalam.

Patut kusyukuri, bahwasanya teman sekolah yang melihat kejadian di parkiran dermaga hanyalah Ria seorang. Walau masih dugaan, aku yakin pemikiranku tepat. Sebab, semisalnya ada orang lain, mereka pasti akan membicarakanku di kelas. Mereka akan merumpi soal keramaian janggal di dermaga, mengenai apa yang terjadi di sana. Namun kenyataanya, setibanya diriku di kelas masih seperti biasa. Kupasang kuping lebar-lebar, tak ada satu kepala pun yang menunjukkan simpati, bahkan dengan cara yang kurang ajar sekalipun.

----

Pada hari ini, aku memutuskan untuk menjeda kehidupanku guna memberitahumu sedikit tentang bagaimana pandanganku, isi kepalaku, terhadap ayahku sendiri.

Happiness is the Best HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang