#25 Pecundang Bahagia

8 1 1
                                    

Kamis, 17 Desember 2015
17:00 sore

Senja semakin lama semakin meredup. Jalannya hari diiringi selalu dengan dinginnya angin sepoi yang bertiup. Cahaya sekitar sudah tak seterang tadi. Kini mulai hilang perlahan tertutup belantara terbenam mati.

Kaki sudah Letih. Betis ikut sengal. Keringat yang mencucur pelan melewati tengkuk, telah menjadi saksi nyata bahwa bukanlah vila, melainkan diriku lah yang datang kepadanya pada sore hari ini.

Vila. Ya, di sinilah aku sekarang. Berdiri kukuh sembari terus melangkah pelan, semakin dalam menuju haribaan tempat yang benar-benar telah membuatku lupa diri selama ini.

Butiran salju hinggap di sela-sela rambutku, namun aku acuh tak kusisihkan. Sebab, apa yang ada di hadapanku kini lebih-lebih terlanjur menyita perhatianku.

Oleh karena aku yang tidak sedang sendiri, sudah jelas sosok di sampingku ini sadar aku tiba-tiba berubah raut. Ria sudah sejak tadi mengamatiku dengan tatapannya yang penuh tanya.

"Kakak .... Ada apa?" katanya.

Aku mendengar jelas kata-kata itu terucap. Namun begitu, bibirku terasa payah sekali untuk membuka.

Tatkala itu, kedua mataku tak henti-hentinya menatapi sekitar. Hal yang bahkan membuat diriku sendiri tercengang, yakni dari setiap detail yang ada di tempat ini, tak ada yang luput dari pengamatanku.

Aku ... Aku bisa merasakan banyak hal, kau tahu. Mulai dari tata letak pot tanaman di teras vila yang berubah posisi, noda kusam baru yang tercipta pada talang air di samping vila, juga rumbai-rumbai pada pondok di muka vila yang putus beberapa entah mengapa.

Sejujurnya, sekalipun aku sangat sering kemari, tak pernah rasanya aku mengamati tiap senti tempat ini sebagai wujud kecintaanku akannya, ataupun upaya untuk mengenangnya. Aku benar-benar takjub dalam hati, pada sore hari ini, entah mengapa semua itu seakan mengalir dalam kepalaku, hingga terlukis begitu saja bayang-bayang lama tentang diriku saat berada di vila ini.

Sejak detik ini pun, aku menyadari kehadiran dari kenyataan yang begitu indah. Bahwa pemandangan yang kedua mataku lihat saat ini, ternyata telah menjawab rasa gundahku belakangan. Semakin aku mengingatnya, jiwaku terasa semakin sejuk, tensi dalam tubuh menurun, dan tak lupa pula hati yang menjadi semakin tenang karenanya.

Vila ....

Sejak pertama kali aku minggat ke tempat ini ketika kelas 11, vila ini tak pernah sekalipun berpenghuni. Dengan pekarangan yang sangat kacau, debu dan sawang di banyak pojok bangunan, tempat ini tak lebih dari sekedar kawasan tak laku dan angker bagi masyarakat setempat. Setidaknya, begitulah yang bisa kusimpulkan setelah aktif berkunjung setahun belakangan.

Satu hal yang menyedihkan, yakni karena beragam spekulasi negatif yang tumbuh di antara masyarakat, tak ada seorang pun yang mau memberdayakan lorong ataupun sekedar berkunjung untuk mengekplorasi. Dan kau tahu, ini jadi hal yang bukannya menghalangiku, tetapi malah membuatku antusias. Aku coba pertama kali ke sini saat kelas dua SMA, dan yah ... memang kelihatan suram. Namun begitu, aku merasa bahwa kesuraman yang ada bukanlah karena tempat ini dihuni hantu atau apalah itu, melainkan ... hanya karena berantakan saja!

Selebihnya, mungkin kau juga sudah tahu, perihal pemandangan yang disajikan bila kita berada di pondok kayu beratapkan anyaman itu, benar-benar sesuatu yang mustahil kudapatkan dengan gratis di mana-mana di kota ini.

Setelah beberapa kali kunjungan, hatiku pun membuat keputusan. Tempat ini cocok untukku. Dan dengan sekali pikir saja, aku sudah mampu mengumpulkan niat untuk bergerak membereskan kekacauan yang ada. Ya, semua karena dorongan yang begitu kuat dari dalam diriku untuk memiliki tempat ini.

Happiness is the Best HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang