#15 Menyenangkan, bukan?

13 1 3
                                    

15 menit kemudian ....

Setengah porsi takoyaki terlahap, namun pertunjukkan inti masih juga belum dimulai. Anak-anak bahkan ada yang mulai rewel meminta pulang. Juga, tak sedikit dari pengunjung yang terlihat menguap tanda kantuk.

Namun, bila menilik dari dalam jiwa mereka, aku yakin sebagian besar masyarakat sebenarnya masih tetap riang dan antusias, termasuk diriku saat ini.

"Oi, Kakak!"

Ketika sedang asyik menyantap cemilan, aku mendengar ada seseorang yang suaranya tak jauh dariku, memanggilku dengan sebutan kakak.

Orang itu pun lantas muncul dihadapanku begitu saja.

"Kakak! Ya ampun ... apa yang kakak lakukan sendirian di sini ...?" ucap Kokuto, cucu dari kakek sekaligus adik sepupuku. Si kasir.

"Oalah Ko-kun? Ternyata kau juga datang ke sini, ya."

Semoga saja kali ini aku tidak dijahili olehnya. Walau sosok Kokuto terlihat sopan, lembut, dan rapi dari luar, sesungguhnya ia punya otak yang cerdik terlebih dalam hal menjahiliku.

"Jelas dong, Kak. Aku tak mau melewatkan kesempatan untuk menjadi saksi kali pertamanya fuyumatsuri ini diadakan setelah sekian lama," balas Kokuto membusung dada.

*Fuyumatsuri = Festival musim dingin

"Ehm ... ya, baiklah." Aku hanya mengangguk.

"Ngomong-ngomong, mana kakek kita? Apa beliau ikut juga?" tanyaku lebih lanjut.

"Ah, Kakek? Tadi, sih, kakek sedang mengobrol dengan seorang teman lamanya ... di mana tadi, ya ...? Ah ... Entah lah, Kak. Aku lupa." Kokuto berusaha memandangangi sekitar mencari-cari keberadaan kakek.

"Oke, oke ..., kakak mengerti. Sebaiknya, ehm ... biarkan saja kakek mengobrol dengan temannya itu," ucapku sambil kembali melahap jajananku.

Usai ucapanku tersebut, tiba-tiba Kokuto malah ikut menyempil di sebelahku. Ia mengangkat boba dengan kemasan gelas plastik yang sengaja kutaruh di sebelahku, lalu ditaruhnya begitu saja di pangkuanku. Dinginnya minuman itu terasa walau aku saat ini memakai jeans. Membuatku sedikit tersentak.

"Hehehe .... Kakak!"

"Hehe ... Hehe ... Kenapa, sih, kau ini? Sudah tahu ini bangku untuk dua orang juga," protesku sembari berusaha menyingkirkannya dengan sikuku.

"Dih, gimana, sih? Tambah aku kan jadi dua!" celotehnya terlihat ingin tertawa.

"Tidak bisa, lah! Dua yang ku maksud, kan, aku dan bobaku! Geser, ah!" Sementara aku masih kesal.

"Daripada itu, Kakak,"

"Kau bilang biarkan Kakek, karena kau mau menghindari obrolan dengannya, 'kan?" ujarnya sambil tersenyum kecil. Sama sekali tak menggubris suruhan kakak sepupunya ini.

"Berisik kau," jawabku cuek.

"Halah ...  halah .... Ketahuan sekali kedokmu, Kak."

"Salah sendiri! Makanya, kakak harus punya keberanian dan kecerdasan ketika ingin menghentikan suatu obrolan ...." tuturnya sambil merangkul pundakku erat.

"Kalau kakak tidak punya skill seperti itu, lantas kakak bisa apa? Satu-satunya yang kakak bisa hanyalah mengalah, duduk di depan kakek selama berjam-jam, dan mendengar celotehannya sampai matahari tenggelam. Apa itu yang kakak mau?" tambahnya sambil menatapku intens.

"K..Kalau kau berpikir begitu, setidaknya beri aku saran, lah. Jangan menakut-nakuti saja kau bisanya!" aku bertanya dengan nada yang kuat, namun rasanya sedikit grogi juga meminta saran dari sepupu sendiri untuk pertama kali.

Happiness is the Best HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang