Seperti yang kalian tahu, kami berdua saat ini sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah. Dan sekarang, langkah kaki kami terhenti sejenak setelah sampai di depan rumah Ria.
Setiap kami pulang berdua, rumah Ria akan kami jumpai terlebih dahulu sebelum rumahku. Sehingga mau tak mau, aku harus melanjutkan perjalanan seorang diri setelah melewati rumahnya.
Rumah Ria besar. Itu gambaran singkatnya. Tembok rumah yang tampak kokoh nan perkasa, serta gerbang berwarna hitam yang besinya seakan takkan berkarat meski seribu tahun pun maju paling depan dalam hal memukau tamu. Dan ketika masuk pekarangan, masih perlu berjalan sekitar 10 meter agar sampai ke pintu depan. Selama perjalanan itu, mata akan terpuaskan dengan tatanan teras hijau yang segar dan asri di kiri kanan. Sebagai catatan, ibuku yang membantu ibunya dalam merancang keestetikaan itu.
Fukaguchi Ria, berasal dari keluarga Fukaguchi yang di mana memang termasuk sejahtera dan lumayan terkenal di daerah ini. Tetapi, walau begitu, untungnya Ria bukan anak yang terlalu subjektif dalam memilih teman. Hal luar biasa yang patut kusyukuri.
Sebelum masuk ke pekarangan rumahnya, Ria terlebih dahulu berpamitan padaku.
"Dadah, Kak! Sampai ketemu besok! Dan jangan lupa tentang festivalnya juga, ya!" pamitnya riang.
"Ok ...! Sampai ketemu ...!" Aku pun kemudian melangkah pergi, dengan lambaian yang menyertai.
Kami memang sudah sering pulang berduaan sejak masih sekolah dasar, soalnya rumah kami juga searah. Pun sekolah kami tak pernah berbeda tempat. Juga, Ria sendiri adalah bestie-ku sejak masih bocah ingusan. Jadi wajar saja kalau kami sampai sekarang membawa kebiasaan itu.
----
Selepas berpamitan dengannya, aku pun kembali melanjutkan perjalananku menuju rumah. Ngomong-ngomong, Jarak antara rumah kami berdua hanya sekitar 25 meter jauhnya.
Ketika berjalan berdua dengannya, aku merasa setidaknya batinku bisa ceria dan melupakan hal-hal tidak enak untuk sesaat. Namun sayangnya, ketika aku kembali sendiri, ada saja yang aku pikirkan. Seperti bahkan di perjalanan sesingkat dari rumahnya ke rumahku ini, aku kian berpikir keras.
Kalau seandainya aku meminta izin pada ayah, apa dia mau, ya?
Hal ini terus-menerus mengisi kepalaku.
Mengenai sikap ayah tadi pagi, jujur aku belum yakin sepenuhnya kalau dia memang sudah benar-benar berubah. Bisa jadi hal itu terjadi karena kebetulan waktu itu mood ayah sedang bagus saja, mungkin?
Akan terasa aneh juga bila nyatanya ayah bisa berubah sikap secara drastis hanya dalam waktu semalam. Maksudku, hal yang bagaimana, sih, yang bisa merubah pria kukuh itu hingga sebegitunya?
Maka dari semua pemikiranku ini, aku masih ragu ayah mau mengizinkanku untuk pergi ke festival itu.
///
Happiness is the Best Healer
///
"Hah ... akhirnya sampai juga," gumamku setibanya di depan rumah.
Dengan hati-hati, aku coba membuka pintu rumahku. Ntah mengapa tiba-tiba batinku menjadi penuh kewaspadaan. Aku masih saja teringat akan kejadian tadi pagi. Hal itu membuatku mentalku saat ini benar-benar canggung. Sedikit tidak adil di lain sisi.
Apalagi saat sekarang ini, aku terus saja membayangkan bagaimana nantinya aku harus bertindak bila ternyata setelah membuka pintu ini, aku langsung bertemu dengan ayahku? Kemungkinan besar ayah menyadari bahwa pagi tadi aku berusaha mengelak darinya. Lalu, bagaimana aku akan menjelaskannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Happiness is the Best Healer
Teen FictionTak peduli siapapun dirimu, di manapun kau berada, dan apapun yang kau lakukan untuk menjalani hidup, kau pasti akan menemukan kebahagiaan. Hal yang disebut-sebut tak dapat dibeli oleh uang ini, mereka datang dengan beribu-ribu cara, bahkan termasuk...