Setelah wanita ber-yukata merah itu pergi meninggalkanku dengan begitu tenang layaknya tak terjadi apapun di antara kami, momenku di kota Tokyo masih terus berkesinambung sepanjang festival itu berlangsung. Hingga akhirnya, setelah malam itu berlalu, pada pagi harinya aku pun bergerak pulang menuju kota asalku, Miyako, tanpa sedikitpun memikirkan maupun menaruh kecurigaan akan kehadiran wanita itu kala festival semalam.
Sopirku sudah kembali padaku dari tugas dadakannya. Dengan kata lain, aku sama sekali tidak menyopir selama perjalanan pulangku yang memakan waktu hampir 8 jam itu.
Sempat tertidur ketika di dalam mobil, perjalanan itu jadi terasa tidak begitu lama bagiku. Pukul 12 siang, aku beserta sopirku pun tiba di Miyako, di rumahku yang menjadi hunian satu-satunya untuk keluargaku hingga saat ini, di mana diriku sudah tak menjadi prajurit lagi.
Saat turun dari mobil dinas kala itu, aku tak lupa mengucapkan terimakasih banyak pada sopirku, lalu kemudian berjalan dengan koper yang kuseret besertaku menuju pintu depan rumah. Kubuka pintu dengan pelan, namun tidak dengan intonasiku ketika mengucap salam. Keras dan bersemangat.
"Tadaima!"
Tidak ada sahutan.
Aku menaruh alas kakiku di rak sepatu, lalu aku berjalan menuju bagian rumah yang lebih dalam lagi, melalui ruang tamu, menuju ruang makan.
Di sana kutemukan istriku, sedang duduk di salah satu kursi yang berada di sekeliling meja makan. Sungguh, tidak sewajarnya dia seperti itu. Biasanya, dia akan langsung menghampiriku ketika aku membuka pintu, atau setidaknya ketika dia sibuk di dapur, sahutannya akan terdengar sampai ke pintu depan.
Aku mendekat perlahan ke tatanan meja makan itu, menarik salah satu kursi, lalu duduk dengan bijak di atasnya. Singkat, raga kami berdua pun kini saling bersebrangan.
"Tadaima?" ucapku sekali lagi. Alisku naik, memastikan jika dia tidak sedang membeku.
"Okaerinasai." Istriku langsung menjawab. Tidak tampak ada semangat maupun sukacita di wajahnya saat itu. Kedua mata serta wajahnya pun tidak mengarah ke arahku. Ia terkesan membuang pandangannya.
"Kamu ... tumben jam segini masih keliatan lesu. Baru bangun?" Nadaku sedikit menyindir.
Tidak mungkin juga hal itu benar, mengingat santapan siang sendiri sudah tersaji rapi di depanku. Aku hanya ingin mencairkan suasana, yang memang aku akui, aku tidak cukup baik tiap kali melakukannya.
Istriku bungkam untuk beberapa saat. Namun, tak lama,
"*Anata, kenapa kamu bisa jadi seperti ini?" Kepalanya menoleh secuil ke arahku, tidak membuat wajah kami saling berhadapan. Hanya kedua matanya yang kini melirikku layu.
*Anata 「貴方」 adalah pronomina dalam bahasa Jepang yang berarti "Anda" dalam situasi formal, atau "kamu" dalam hubungan antar-suami-istri.
"Hm?" Aku bingung, mengedipkan kedua mataku sekali.
"Apa benar kamu pergi ke festival bersama Touno, seperti yang kamu katakan?" dia bertanya dengan perlahan, penuh helaan napas, nampak tak berdaya, seakan-akan dia baru saja disakiti oleh sesuatu.
"Oh, iya!"
"Ah ... hahaha ... maaf, ya, soal itu. Aku lupa memberitahumu, bahwa Touno tidak jadi ikut. Istrinya tiba-tiba kontraksi pada hari festival itu diadakan," balasku dibarengi tawa kecil, belum sadar sama sekali soal apa yang istriku permasalahkan.
"Jadi, ya ...."
"Jadi, sebagai gantinya," istriku memotong.
"Kamu mengajak perempuan itu?" Dia menatapku sayu, tatapan yang menuntut suatu jawaban pasti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happiness is the Best Healer
Teen FictionTak peduli siapapun dirimu, di manapun kau berada, dan apapun yang kau lakukan untuk menjalani hidup, kau pasti akan menemukan kebahagiaan. Hal yang disebut-sebut tak dapat dibeli oleh uang ini, mereka datang dengan beribu-ribu cara, bahkan termasuk...