#6 Seorang Perempuan

35 16 122
                                    

Mengapa ....

Tubuhku ... tak dapat digerakkan sama sekali.

Sensasi ini ....

Dingin ....

Tapi begitu hangat ....

Inikah yang mereka sebut kematian?

Hm ..., begitu rupanya.

Sekarang sudah jelas, lah, apa yang dikatakannya ....

Ternyata aku juga sudah mati.

Kalau memang kenyataannya begini ..., aku sudah tak perlu lagi mengurusi hidupku yang amat menyedihkan itu.

Tapi, meninggalkan dunia ini sebelum tahun baru tiba, ini lumayan membuatku sesak. Karena setidaknya, oh Tuhan, aku ingin sekali melihat kembang api di Hokkaido setidaknya satu kali dalam hidupku.

Tapi sudahlah ....

----


14:33 Sore.

Semantik cahaya oranye terlihat benderang dari sebelah barat. Awan-awan bak permen kapas yang bergerak lamban di langit siang menjelang sore, ditelan begitu saja oleh atap genteng gazebo ini. Perlahan semua lenyap dari pandangan.

Ranting-ranting pohon tak henti-henti bersinggungan satu sama lain seperti halnya lonceng angin di teras vilaku. Sore hari tanpa rasa depresi, hanya ditemani oleh seoonggok gadis yang terbaring di depanku pasi.

Semuanya tak banyak berubah selama setengah jam berlalu, semenjak ia kudapati tak sadarkan diri akibat insiden tadi. Sekarang, pucat di parasnya sudah perlahan luntur, dan ia mulai mengeluarkan keringat. Namun begitu, hingga kini raganya belum juga menunjukkan tanda-tanda sadar atau sejenisnya.

"Perempuan ini, kuharap dia baik-baik saja ...." gumamku. Aku hendak mengganti kompres di dahinya. Handuk mungil yang tentunya higienis kupakai sebagai bahan. Kuperas bersamaan dengan air dari wastafel, lalu setelah kadar airnya ideal, kutaruh dengan lembut di dahinya.

Selama menunggu gadis ini siuman dalam kebosanan, aku coba melipur lara dengan memutar mp3 dari telepon genggamku. Satu lagu yang sejak remaja selalu kucintai, yakni "One More Time, One More Chance" milik Masayoshi Yamazaki. Setiap aku mendengarnya, hati ini selalu dibikin bergeming tulus.

Gadis ini, selama dia pingsan, aku coba memberikan pertolongan pertama sebisaku. Memperhatikannya dengan seksama, aku sadar bahwa perempuan ini adalah orang yang sama dengan yang sudah kulihat sebelumnya. Terketahui dari raut dan bahkan seragam yang dia pakai.

Uniknya, entah kenapa wajah orang ini seakan mengingatkanku pada seseorang yang lain. Lebih dari sekedar gadis yang lewat di depan vila tadi pagi. Aku bingung setengah mati mengingatnya. Tapi sudahlah, yang terpenting sekarang adalah aku harus segera mengobati luka beset yang ada di lengannya segera.

Aku sudah terlebih dahulu mengelap area lukanya dengan kain basah sebelumnya. Setelah cukup kering, aku memutuskan untuk kembali ke vila sejenak dan mengambil alkohol guna memaksimalkan proses penyembuhan lukanya.

Namun, suatu titik di mana aku lengah,

"Umh ...."

Satu hal yang tidak kusadari, bahwasanya ia sempat mendesis pelan saat itu. Saat di mana aku tak berada di sampingnya.

Di lain sisi, alkohol sudah kugenggam beserta kapas tambahan, dan aku pun lekas kembali menuju gazebo. Dan, baru saja aku hendak duduk di sebelah gadis itu, alangkah kagetnya aku setelah melihat jari kelingkingnya yang berdentik serta matanya yang kini sudah terbuka sedikit.

Happiness is the Best HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang