#29 Firasat

4 0 0
                                    

"Ah, Irasshaimase!" beberapa bapak tiba-tiba masuk ke dalam izakaya. Paman empunya Izakaya pun menyambut mereka dengan sigap, lalu kemudian menyelinap bergeser ke arah diriku dan Tuan Arashi.

"Tuan-tuan, mohon lebih tenang, ya," ucapnya gugup, penuh mohon, sembari membungkuk pada kami.

"Ah, sumimasen ...." Tuan Arashi tersimpul malu, lalu lekas meminta maaf pada paman itu. Yah, tampaknya emosi yang bergejolak tadi sudah mulai mereda, tergantikan oleh rasa pelik yang berputar-putar di kepala beliau.

"Kami minta maaf, paman." Aku turut membungkuk. Dan selekasnya pun aku kembali duduk di kursiku.

----
HAPPINESS IS THE BEST HEALER
----


Kini, warung izakaya tempat kami mengobrol ini sudah mulai berdatangan pengunjung lainnya. Meja yang tersedia, satu-persatu terisi oleh para pengunjung yang terdiri dari para remaja fase akhir hingga bapak-bapak bungkuk yang sarat akan aroma keringat kerja. Rasanya aku ingin mengatakan pada paman empunya warung bahwa keributan yang dipicu Tuan Arashi tadi, boleh jadi adalah sebuah jampi-jampi peramai. Tapi aku sadar itu adalah tindakan yang sangat tidak sopan bagi Tuan Arashi, bagi paman empunya warung, bagi pelanggan lain, serta bagi para pawang jampi di seluruh dunia.

Maka dari itu, aku lebih memilih untuk kembali mengobrol dengan Tuan Arashi.

"Tuan, Anda tidak apa-apa?" tanyaku cemas. Beliau masih saja tertunduk memegangi dahinya.

"Hah ... tidak apa, Kaito," jawab beliau disertai helaan nafas pendek.

Aku hanya diam mengamati gerak-gerik Tuan Arashi. Entahlah, mungkin aku hanya akan menunggu sampai beliau kembali melanjutkan kata-kata. Sebab tak enak juga bila aku terus bercakap saat beliau sedang fokus menenangkan dirinya.

Sesuai harapan, beberapa detik kemudian, beliau pun melepaskan jari dari dahinya yang sempat mengkerut. Beliau kemudian meregangkan punggungnya ke kiri dan kanan, sebelum akhirnya berujar.

"Kau yakin ingin mendengarnya malam ini, Kaito? Apa kau tak ada agenda lain?" tilik beliau padaku.

"Tidak apa, Tuan. Segala urusan saya hari ini sudah selesai," anggukku sigap.

"Baiklah ...."

Kembali, beliau memanggil paman empunya warung untuk menghidangkan kami dua porsi minuman lagi. Beliau memesan bir, dan memesankan diriku pula, dengan kadar alkohol yang berbeda. Kau pasti bisa menerka bukan? Milik siapa yang kadarnya lebih rendah?

"Kaito, beri tahu, seberapa banyak yang kau tahu?" tanya beliau. Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaan tersebut. Aku tak mengira akan dilempar pertanyaan pamungkas di awal-awal seperti itu. Sontak, aku pun terdiam untuk beberapa saat.

"Ehm ..., baik, tapi apa saya sebaiknya menjelaskan dari pandangan saya atau dari yang selama ini saya dengar?" aku bertanya balik.

"Berdasarkan yang kau dengar saja," timpal beliau sambil membuka kalengan bir.

"Baiklah."

"Namun perlu saya tekankan, Tuan, apa yang saya dengar sesungguhnya tidaklah banyak. Mengingat, insiden tersebut diproses oleh para petinggi secara tertutup dan benar-benar di luar sepengetahuan segenap prajurit."

Beliau hanyak mengangguk.

"Mula-mula, saya akan menembak ke 2013, ketika saya sedang dinas di Yokohama."

"Kala itu, saat apel pembukaan pelatihan sedang berlangsung, disampaikan sebuah pengumuman yang menyatakan bahwa salah satu perwira menengah, yakni Anda, telah dicabut statusnya sebagai kolonel serta sebagai seorang prajurit secara tidak hormat." Aku memulai narasi dengan latar khusus.

Happiness is the Best HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang