Masih di hari yang sama, ketika istirahat pertama usai, kami, dua sejoli tak senasib ini kembali memasuki lokal masing-masing dengan tangan menggenggam kotak makan kami yang telah kosong.
Di luar kelas mendung. Tak banyak sinar mentari hangat yang meresap ke kulit. Di jalanan sekitar gerbang sekolah, hampir semua yang melaju adalah mobil. Kalau pun ada motor, pasti disertai dengan pengendaranya yang bebalut kain tebal dan sarung tangan motor. Ya, semua penampakan itu dapat terlihat oleh mata ini dari balik jendela kelas. Patut kusyukuri, bahwa ketika tahun ajaran baru yang lalu, ada satu kursi di tepi jendela yang tersisa untukku.
Pelajaran berlangsung kala itu, namun tidak seperti minggu-minggu lalu. Kini semua jadi lebih intens. Mengingat materi buku yang memang sudah habis, juga tahun yang sudah sampai di penghujung, tidak ada yang bisa guru beri kecuali teropong soal menuju pekan ujian semester. Silih berganti para sensei masuk, masing-masing membawa rekapan soal yang mereka buat sendiri 'tuk selanjutnya kami kerjakan. Ah, sungguh melelahkan.
Namun terlepas dari itu semua ..., patut kusyukuri bahwasanya jalannya hari, belakangan telah membawa diriku menuju ke arah yang ... yah ... sedikit lebih baik, lah. Ini jelas sebuah perbedaan. Kau tahu mengapa? Karena di saat begini biasanya batang hidungku tidak akan kelihatan di kelas. Aku kabur.
Kau mungkin bisa tebak aku kabur ke mana, kan ...?
----
HAPPINESS IS THE BEST HEALER
----Pulang sekolah, sore harinya ....
Lengangnya sore, begitu tentram mengakhiri pembelajaran pada hari ini. Diiringi angin yang kala itu mendesir rambutku dari balik jendela, aku giat berkemas segala sesuatu yang kubawa ke sekolah guna bersiap pulang; alat tulis berupa seonggok pensil, pena, dan beberapa buku tulis.
Untunglah sekolah tidak memperlama jadwal pembelajaran. Karena kukira, khusus untuk kelas 3 akan ada pertambahan waktu belajar, persis seperti tahun lalu. Kau tahu kan, apalagi menjelang masa ujian seperti ini. Namun ternyata aku salah. Pulang masih pukul setengah 4 sore.
Setelah siap berkemas, aku pun berjalan pergi keluar kelas. Tak lupa kututup pintu sorong kelas rapat-rapat, sendirian.
Badanku tegap meninggalkan lokal, dengan sesekali diiringi napas engap yang kuhembuskan.
Ketika aku berjalan melintasi koridor lantai 2 yang begitu terbuka di sisi kanan ini, sangat jelas terlihat olehku, lapangan yang kosong sejauh mata memandang. Terlintas di pikiranku, mengenai remaja-remaja seumuranku di sekolah ini, yang kebanyakan darinya mengikuti ekskul. Biasanya, ketika pulang sekolah pada hari tertentu, mereka akan berkumpul meramaikan lapangan dari segala penjuru, dengan aktivitasnya masing-masing.
Menilik kondisi yang ada, 'ekskul lapangan' nampaknya sudah merehatkan diri sejak minggu lalu. Tak ada lagi yang mengisi lapangan untuk kegiatan ekstrakurikuler. Di lain sisi, ekskul ruangan punya cerita lain. Sampai sekarang pun mereka masih aktif beraktivitas. Maklum, namanya pun ekskul ruangan. Tenang dan terlindungi dari hembusan angin dingin.
Yah ..., bicara soal ekskul ...,
Ini mungkin agak kontradiksi dengan apa yang kau baca selama ini, tapi sewaktu aku masih kelas satu dulu, aku pernah bergabung dengan salah satu klub ekskul yang ada di SMA Akinori ini.
Klubnya tidak terlalu terkenal, dan aktivitasnya pun sebenarnya monoton. Bahkan seingatku, termasuk aku maka hanya ada 9 orang yang tergabung dalam klub itu. Maklum, klub itu juga masih tergolong baru dibanding ekskul lain.
Awal-awal bergabung, aku menjadikan diriku sebagai anggota yang selalu hadir di setiap jadwal pertemuan. Aku selalu menyimak dan mendengarkan, bahkan untuk hal-hal yang terasa tidak ada gunanya sama sekali. Berbulan-bulan lamanya aku berada dalam klub itu, dihabiskan dengan hanya menyaksikan perdebatan tiada ujung antara ketua dan wakilnya, sedikit edukasi mengenai jenis sekop, dan tak pernah melakukan praktikum yang berarti, aku semakin tersadar, bahwa ekskul itu pada nyatanya ... tidak sesuai dengan ekspetasiku. Semua yang kusaksikan melenceng dari perkiraanku. Merasa kecewa, aku pun semakin lama semakin berat ekor untuk datang ke klub itu. Lama-lama aku ringam.
Walau setelah itu aku tak pernah muncul lagi dalam klub, semua tampak sama saja. Aku tak menerima teguran dari klub. Sungguh, bahkan aku mulai berpikir barangkali ketua klub itu tidak peduli dengan absensi anggotanya. Namun ternyata anggapanku salah. Ketika aku naik kelas 2, di mana sifat tukang minggatku kala itu lagi gencar-gencarnya, aku pun dikeluarkan dari klub itu oleh seseorang yang suatu hari datang menemuiku langsung saat istirahat di kelas. Dan yah, sejak hari itu, aku pun resmi tak bergabung dengan klub manapun.
Tapi, yah ... bodo amat, lah.
----
Kebahagiaan Adalah Obat Terbaik.
----Ngomong-ngomong, aku hampir lupa. Pada akhir pekan nanti, sekolahku rencananya akan mengadakan bunkasai (festival budaya). Festival ini diadakan dalam rangka memperingati hari jadi sekolah.
Semua antusias akan festival ini. Semua kelas, bahkan, sudah menyusun konsep mereka masing-masing untuk mengisi festival nanti. Mereka berencana menghias dan merancang suatu pertunjukkan ataupun membuka semacam kafe dengan masakan yang mereka buat sendiri untuk kemudian dijual kepada masyarakat umum yang berkunjung ke sekolah. Yah, ujung-ujungnya hanya memutar uang.
Mengenai kelasku sendiri, mereka berencana untuk membuka semacam kafe khusus yang menghidangkan kopi dan teh tradisional Jepang. Yah, ide itu sesungguhnya bersumber dari Yuri-san dan Hoshino-san. Mereka berdua adalah couple paling mesra di kelas kami yang dikenal mahir dalam meracik minuman. Aku tak tahu bagaimana mereka bisa melakukannya, tapi yang jelas mereka berdua berhasil meyakinkan si perhitungan Yuki-sensei selaku walikelas kami itu untuk menyetujui ide tersebut.
Ketika mereka berdua berpikir, sisanya bersyukur. Sebab kami tidak perlu bingung lagi seperti kelas lain.
Sementara itu Ria-chan, sahabatku itu, kelasnya memutuskan untuk merancang kafe dengan konsep maid. Pilihan yang ... klasik, namun tetap dinanti-nanti kedatangannya. Terlebih oleh kaum laki-laki, mereka kupastikan akan sangat antusias.
Bukan tanpa alasan, sebab yang akan cosplay itu Ria-chan, loh! Gadis paling cemerlang seantero SMA ini. Aku saja, jika kubayangkan gadis sepundakku itu mengenakan busana maid dan segala atributnya, aku pasti akan terperangah. Tak mampu kubayangkan betapa bersinarnya dia saat festival nanti.
T..Tapi tenang saja, ya. Aku masih lurus.
Dan karena semua hal tentang festival itulah, aku pulang sendirian pada hari ini. Ria-chan tak bisa pulang bersamaku seperti biasanya karena ia dan teman sekelasnya pergi ke mall untuk mengurus perlengkapan kafe maid mereka. Cukup membuatku kaget, karena mereka bahkan sudah bersiap sejak hari ini. Masih ada 4 hari menjelang festival, lho.
Ya ... Ya ... Ya ..., aku tahu standar tepat waktu antara diriku dan Ria sangat jauh berbeda. Tak perlu dijelaskan lebih jauh.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Happiness is the Best Healer
Teen FictionTak peduli siapapun dirimu, di manapun kau berada, dan apapun yang kau lakukan untuk menjalani hidup, kau pasti akan menemukan kebahagiaan. Hal yang disebut-sebut tak dapat dibeli oleh uang ini, mereka datang dengan beribu-ribu cara, bahkan termasuk...