Sekarang, aku tak tahu apa lagi yang bisa kulakukan. Hari ini sungguh melelahkan. Sungguh melelahkan bagiku.
Kini, aku tak lebih dari sekedar entitas yang terbaring letih di ranjang tempat tidur kamarnya. Tak ada hal menarik yang bisa kulihat di sini. Hanya ada langit-langit kamarku yang sejak tadi kupandangi telaten.
Di luar sekarang sedang turun salju. Intensitasnya, paling lebat sejauh tahun ini. Padahal, jika menilik ke kalender, pertengahan musim saja belum. Akibatnya, udara kota Miyako mendingin lebih awal dari biasanya. Dan tentu, suhu lagi-lagi menurun saat malam tiba, seperti halnya saat ini. Namun demikian, nyatanya semua itu tak begitu berpengaruh terhadap tubuhku. Entah mengapa, cuaca dingin ataupun suhu rendah yang kurasakan tak begitu membebani tubuhku ini. Seakan-akan tubuh ini bisa mentolerir udara dingin dengan begitu ramahnya.
Ngomong-ngomong, mengingat ini adalah musim dingin, jalanan kian diselimuti salju. Orang-orang di sini juga alhasil lebih banyak menggunakan kendaraan umum ketimbang menaiki sepeda atau kendaraan roda dua lainnya. Dan bahkan, jalan kaki juga bisa jadi alternatif yang lebih baik.
"Hah ... nampaknya, aku tak bisa memaksakan diri untuk menaiki sepeda itu lagi," gumamku sambil menoleh ke arah luar jendela, menatap dingin sepeda yang kutaruh di pekarangan. Saksi kejadian yang menimpaku hari ini.
Hari juga sebenarnya sudah cukup larut. Cahaya matahari sudah tergantikan dengan rembulan, dan dengan putihnya cahaya lampu yang memenuhi kamarku.
Semenjak keributan tadi, aku langsung mengurung diri di dalam kamar. Tanpa mempedulikan mereka berdua, aku berjalan masuk menuju kamarku lalu menguncinya rapat-rapat, tanpa makan, dan tanpa mandi. Aku hanya sebatas menggunakan air dari kamar mandi untuk membasuh luka baret di telapak tanganku yang darahnya semakin mengering. Itupun lewat kamar mandi khusus di kamarku. Hingga detik ini, aku sama sekali tak membuka pintu kamarku, apalagi keluar.
Malam ini, rencananya aku ingin menghabiskan waktuku seorang diri. Memikirkan sesuatu yang harusnya sedari dulu kurenungkan. Bahkan, aku tak peduli saat ibuku berkali-kali mengetuk pintu kamarku. Sepenggal 'Oka-san, tinggalkan aku sendiri.' adalah satu-satunya jawabku.
Aku lelah, tapi tak bisa tidur. Aku sangat lapar, tapi selera makanku juga ikut hilang. Otakku sedari tadi hanya memikirkan, bagaimana caranya aku bisa lepas, lepas dari belenggu kehidupan yang tak jelas arahnya ini.
Aku sadar, kalau kekacauan yang ada di keluarga kecilku ini bermula dariku seorang. Oleh karena itu, aku pikir aku harus mulai berubah dari sekarang.
Tapi, bagaimana caranya? Apa aku masih harus menuruti kemauan ayahku? Apa tak ada cara lain lagi?
----
Happiness Is the Best Healer.Kebahagiaan Adalah Obat Terbaik.
----
Namaku Hisoka. Narakawa Hisoka. Umurku 19 tahun. Walau umurku sudah segitu, aku sejujurnya masih duduk di bangku SMA kelas akhir. Hal ini disebabkan karena di saat kenaikan kemarin, aku ditetapkan tidak naik kelas. Alasannya adalah karena aku yang sering membolos, sehingga nilai pelajaranku juga banyak yang kosong dan merah padam.
Kalau melihat umur rata-rata, remaja seumuranku memang harusnya sudah tamat SMA.
Tapi biar kujelaskan, bahwasanya kebiasaan bolosku itu bukanlah tanpa alasan.
Aku sendiri tak terlalu suka diatur. Inilah aku. Ya, itu adalah poin utama kisahku. Aku bukan pribadi yang bisa mengikuti kemauan orang lain begitu saja. Apalagi kalau itu menyangkut masa depanku, minatku, tidak. Big No!
Seperti contohnya, tentang bagaimana ayahku mendidik diriku dengan keras sejak kecil. Obsesinya adalah untuk menjadikanku seorang gadis yang tangguh dan kuat. Hal itu pada dasarnya saja sudah bertentangan dengan kemauan Hisoka kecil.
Maksudku, apa di kehidupan yang sesingkat ini aku masih harus terus-terusan mengikuti ambisi orang lain? Apa untuk itu aku ada? Untuk memenuhi ambisi ayahku?
Aku selalu bisa memilih, perihal apapun itu. Aku bisa menentukan sekolah, karier, dan bahkan orang yang mendampingi hidupku kelak sesuai kehendakku sendiri, selagi itu baik. Itu lah yang kupikirkan selama ini. Bukan begitu?
Namun nyatanya, justru sebaliknya yang aku alami.
Ayah selalu memberitahuku sejak kecil, kelak sewaktu aku sudah tamat sekolah, aku pasti akan dituntun untuk mengarungi dunia militer. Ia selalu berambisi untuk menjadikan remaja rentan sepertiku ini agar mendalami bidang kemiliteran seperti dirinya. Padahal, aku sendiri sama sekali tak tertarik dengan hal-hal seperti itu, kau tahu.
Terlebih, cara mendidiknya yang berlebihan itu selalu membuatku kesal. Aku pernah memberitahu ayah kalau aku tak ingin menjadi tentara atau sejenisnya. Tapi aku malah dibentak habis-habisan. Bahkan ketika ibuku turut menjelaskan situasiku pada ayah, itu tetap tak membuahkan hasil apa-apa. Malah semakin hari, aku semakin dipaksa melatih fisikku. Hanya sekedar joging atau bersepeda, aku tak keberatan. Tapi aku tidak sanggup kalau harus disuruh mengikuti program guna melatih semua otot-ototku di tempat bernama gym itu. Sementara ayah mewajibkan semua itu untukku.
Haluan yang tak kusukai itu, alhasil membuat rasa benci dan risih dalam hatiku mulai timbul. Perlahan, aku mulai menjadi seorang anak yang suka membangkang. Aku seringkali melawan ayah, dan menolak pelatihan rutin yang ia berikan padaku 4 kali dalam seminggu serta melakukan hal-hal yang membuatnya semakin kesal padaku. Di samping itu, aku juga menjadi kerap membolos pelajaran.
Biasanya, ketika aku membolos, aku akan langsung tancap menuju gazebo di vila di lorong sepi itu. Gazebo itu adalah satu-satunya tempat di mana aku bisa merasakan apa itu ketenangan.
Aku sangat menikmati setiap detikku di sana. Setidaknya sampai pria bermuka sok itu muncul dan mengacaukan semuanya.
Tapi lagi-lagi, akulah yang salah.
Baik tentang gazebo, maupun masalah keluargaku ini.
Aku ingin sekali berubah.
Minimal berubah untuk membuat keluarga ini terlepas dari yang namanya konflik internal.
Tapi bagimana menurutmu? Apa aku mesti menuruti kemauan ayahku?
Mungkin kalian berpikir, tak ada salahnya menuruti kemauan orang tua selagi itu arahnya baik. Tapi tetap saja, aku yakin bahwa orang tua yang terlalu memaksakan kehendak mereka pada anak-anaknya, itu juga salah.
Aku ingin berubah demi diriku sendiri. Demi keluargaku. Demi ibu. Itu saja.
----
Hah ....
Anggota keluarga ini, sungguh, sudah seperti prajurit perang saja! Ibuku, layaknya patriotis yang tak kenal lelah memperjuangkan sesuatu, ibu kembali mengetuk pintu kamarku untuk yang kesekian kalinya.
"Hi-chan ... Makan malammu sudah dingin, loh. Apa kau benar-benar tak mau keluar dari kamar?"
"Ih ...! Dibilangin aku nggak lapar, Oka-san."
"Hm ... ya sudah, lah. Tapi ingat, ya, jangan begadang terlalu larut! Soalnya besok kamu masih sekolah."
"Iya. Aku paham."
"Itupun kalau kamu mau."
"Iya."
Eh?
"Kalau begitu, oyasumi ..., Hi-chan."
Apa-apaan nada yang menyinggung dari balik pintu itu?!
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Happiness is the Best Healer
Teen FictionTak peduli siapapun dirimu, di manapun kau berada, dan apapun yang kau lakukan untuk menjalani hidup, kau pasti akan menemukan kebahagiaan. Hal yang disebut-sebut tak dapat dibeli oleh uang ini, mereka datang dengan beribu-ribu cara, bahkan termasuk...