"Emang tujuan lo nyari orang itu apa, Cuy?" Suara itu melintas memanggilku dari arah jok sebelah ketika aku sedang fokus pada jalan di depanku. "Apa aku mesti memberitahunya padamu?" Suaraku pelan membalas, tetapi cukup untuk sampai ke lubang telinganya.
"Ya ..., maksud gue ..., walau gue gak tahu siapa orang yang lu maksud, tapi gue di sini jatuhnya udah ngebantu lo, kan?" Pria itu mengangkat pundaknya sembari menyenderkan punggung. "Apa salahnya ngasih tau ...." Ia melirikku, berpikir bahwa aku akan langsung buka suara dengan ucapannya itu. Tentu saja tidak.
"Lagian, berdua doang di mobil lo tanpa gue tau apa niat lo sebenarnya, menurut lo gue bisa tenang dan gak curiga sama lo gitu?" Ia menghentak-hentak kakinya pelan. Nampaknya ia khawatir, mulai sadar akan hal mendasar yang seharusnya ia sadari sejak awal ia masuk ke mobil ini.
Aku lantas menoleh ke arahnya. "Kalau begitu, mengapa kau tidak turun saja dari mobilku?" tanyaku cuek. Cuek. Lakonku sudah kujadikan begitu sejak mempersilahkan pria ini naik ke mobil; sejak kusembunyikan senjata apiku ke tempat yang lebih aman.
Pria itu membesarkan matanya, lalu kemudian menggaruk kepala belakangnya. "Y-Yah, lo kan tadi janji mau kasih gue bayaran kalo gue mau bantu. Gue lagi butuh duit, usaha cenderamata gue lagi sepi," jawab pria itu enggan terus menghadapku sebab mungkin malu mengakuinya.
"Kalau begitu kau tak perlu tahu," lugasku berpaling darinya, lalu kembali menekan pedal gas perlahan setelah sejak setengah menit yang lalu mobil ini sengaja kulambatkan.
"Hm. Yaudah."
Kendati akhirnya berkata demikian, tak berarti pria itu sudah tenang sekarang. Kulihat kakinya masih mengetuk-ngetuk, dan kedua telapak tangannya menggosok satu sama lain. Aku pikir dia hanya sedang kedinginan di balik balutan busana vintage-nya itu. Sayang, kedua bola matanya yang tak bisa berhenti menatapi segala sudut interior mobilku, memberi arti lain.
"T-Tapi, l-lo gak akan berbuat yang enggak-enggak, kan, ke Hiyori-chan?" Lagi-lagi pria ini latah. Kali ini terdengar cemas. Hal enggak-enggak apa yang ia pikir akan aku lakukan terhadap kenalannya itu?
"Tidak akan! Sudah berapa kali aku mengatakannya, aku hanya ingin bertanya padanya tentang pedagang es yang kumaksud, dan urusan kami selesai!" Aku sedikit membentak pada pria berkumis tipis ini. Membuat dirinya tersentak di setiap dua hingga tiga kata yang kulanturkan.
"I-iya udah kalo gitu. G-Gue cuma gak mau lo apa-apain dia, cuy. Gini-gini gue juga suka sama dia. Gw gamau dia kenapa-kenapa karena gue bawa orang asing ke dia," timpalnya lemas, tertunduk. Membuatku mulai mempertimbangkan untuk tidak menaikkan nada bicaraku lebih lama lagi.
"Hah ...,"
Keheningan terjadi sesaat antara kami berdua.
"Tenangkan dirimu .... Aku bukan orang jahat seperti itu." Aku mengepalkan tanganku, meninju bahunya, ah tidak, lebih tepatnya menyorong bahunya guna mengisyaratkan pria itu agar bisa lebih santai menghadapiku. Dan untungnya, berkat itu ia tak lama-lama menunduk.
"Ini ke mana?" Aku mengalihkan topik. Telunjuk tangan kiriku yang sedang menggenggam setir mobil mengacung ke arah depan, di mana terdapat perempatan yang kini tinggal berjarak 10 meter dari bumper depan mobilku.
"Ah, lurus." Pria itu menyahut singkat.
"Nanti parkirkan aja mobil di depan konbini itu. Sebelah kiri." Tak lama, ia menunjuk ke arah kejauhan pada sebuah bangunan dengan pencahayaan yang terlihat lebih terang dari bangunan-bangunan tetangganya. Sebuah minimarket.
"Baiklah. Dari sana kita berjalan menuju kedai Hiyori itu?" Aku menengok padanya, memastikan hal yang sebenarnya sudah aku ketahui.
"Yup."
KAMU SEDANG MEMBACA
Happiness is the Best Healer
Teen FictionTak peduli siapapun dirimu, di manapun kau berada, dan apapun yang kau lakukan untuk menjalani hidup, kau pasti akan menemukan kebahagiaan. Hal yang disebut-sebut tak dapat dibeli oleh uang ini, mereka datang dengan beribu-ribu cara, bahkan termasuk...