#8 Keegoisan

37 15 121
                                    

"Bagus sekali, ya, kelakuanmu hari ini."

"Bukan begitu, tukang minggat?"

Sejak ucapan itu terlempar keluar dari bibir ayahku, suasana ruang tamu pun berubah drastis.

Apa yang kau temukan sebelumnya, sekarang berani kupastikan sudah lenyap tak bersisa. Tak ada ketenangan, pun tak ada lagi pergumulan antara ibu dan anak perempuan yang takkan sampai ke arah kekerasan fisik. Semuanya berubah kelam.

Kini, aku terpojok di tepi dinding ruang tamu. Terduduk tidak berdaya setelah tubuhku dijolak oleh ayahku dengan begitu kasarnya. Sofa lebih tinggi dari posisi kepalaku, lantai tak sampai setengah meter dari mataku.

Sementara ayahku, ia berdiri tepat di hadapanku. Ia berdiri tak begitu dekat sebenarnya, namun entah bagaimana jalannya sehingga aku hampir tak dapat memandangi apapun kecuali kedua kakinya.

Dengan situasi seperti ini, aku yakin takkan bisa lepas dari amukan ayah begitu saja. Jadi ... menunggu adalah satu-satunya yang ku bisa.

Hatiku pun bergumam,

Apa yang akan kuterima setelah ini ...?

Dari tempat ia berdiri, sudah sejak tadi ayahku mencecar diriku tanpa henti. Aku menelan semua itu ke dalam telingaku. Namun begitu, aku tak merasa takut sama sekali. Bahkan untuk merenung saja aku tak bisa.

Ayahku, mungkin karena kelewat murka, sambil memaki, kakinya tak bisa diam di tempatnya berdiri. Kadang mendekatiku, kadang mendekati Ibu, meja makan, tempat lain. Dan langkah itu, semakin membuat suasana kian angker. Tak tertebak dan tiap derap kaki menghasilkan bunyi gemerencang akibat pecahan kaca yang bertaburan di lantai.

Ah, soal pecahan kaca itu? Yah, itu juga hasil perbuatan ayahku. Tadi ia sengaja menjatuhkan gelas yang ada di meja.

Aku yakin, sikapku menanggapi situasi ini bagimu mungkin seperti mengimplikasikan rendahnya sikap kemanusiaan dalam diriku. Biar kuberi tahu, ini sudah menjadi makananku sehari-hari. Jadi, terimakasih.

*PLAKKKKKK

"KAU INI ANAK MACAM APA, HAH?!"

"SETIAP HARI KERJAMU HANYA MEMBOLOS DAN MELAWAN!"

"BAGAIMANA LAGI CARAKU UNTUK MENGHUKUMMU?!"

"DASAR TIDAK TAHU MALU!"

Kerutan di dahi yang begitu kusut memperlihatkan betapa ekstrem kemarahan itu. Bibirnya sampai bergetar walau tak sedang mengucapkan apa-apa. Tak sedetikpun kala itu kemarahannya surut, bahkan satu tetespun.

"Ayolah ... apa kau mau terus-terusan jadi samsak ayahmu sendiri, Hisoka!?" lanjutnya lantang sambil berkacak pinggang.

Pria yang kupanggil ayah ini memang sudah sering main tangan denganku sejak lama. Bahkan sudah ia lakukan semenjak aku SD, dengan alasan mendidik. Namun begitu, ayah tak pernah menamparku sekuat ini sebelumnya. Sungguh, kali ini terasa begitu menyakitkan. Sangat.

Ia kemudian meraih lenganku, menyeret paksa diriku dan menjolakku ke atas sofa disampingku dengan tanpa ampun. Ayah benar-benar kalap karena perbuatanku yang terus terulang, lagi, lagi, dan lagi.

Sementara ibuku, ia melihat semuanya. Apa yang dilakukan ayah padaku, ia menyaksikannya dari kejauhan di belakang ayah.

"Hentikan ...! Anata ...! Aku mohon!!!" Melihat badanku yang terhempas menuju sofa, dengan mata berderai, ibu sontak berteriak histeris pada ayah.

Lengan ayah turut ibu raih dan tarik agar tak sampai melecetkan aku lebih parah lagi.

"Ck! Minggir!"

"Tolong, jangan sakiti anak kita! Aku mohon!"

Happiness is the Best HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang