#18 Mimpi Buruknya

6 1 1
                                    

Sulit dipercaya, bahwa aku akan bertemu lagi dengan beliau secepat ini.

Setelah melihat kondisi pria yang sebelumnya merintih lemas ini dari kejauhan, batinku tergerak untuk menolongnya atau setidaknya, untuk memberikan pertolongan pertama yang dibutuhkan.

Serangkaian pengecekan telah kulakukan, dan hasilnya, tidak se mengkhawatirkan itu. Saat ini, Tuan Arashi hanya perlu mendapatkan tempat yang lebih nyaman untuk mengistirahatkan tubuhnya. Setidaknya harus lebih hangat dari tempat ini. Maka, lebih baik dibawa ke rumah sakit. Mumpung jaraknya juga tak terlalu jauh.

Mengenai Tuan Arashi, kalian mungkin bertanya-tanya, siapa orang ini.

Tuan Arashi, ialah satu mantan personil tentara angkatan laut Jepang yang sempat mengemban jabatan penting dalam satuan militer. Beliau merupakan pria menjulang 190cm lebih, tegap, berperawakan dingin, serta dikenal sangat keras dalam urusan mendidik. Karena wataknya tersebut, hampir semua tentara muda begitu segan padanya.

"Nak? Tunggu dulu, kamu mengenal suami ibu?" ujar si ibu, melihat pandangan mataku yang kala itu sedang menatap suaminya seakan-akan tak asing.

Aku menoleh pelan ke arah ibu itu, lalu menunduk dan kemudian menjawab dengan halus, "Iya, saya kenal beliau, Bu."

"Saya adalah salah satu rekan Beliau yang mengabdi di angkatan laut Jepang."

Ibu itu menyimakku dengan begitu serius. Nampaknya ia juga begitu penasaran soal bagaimana aku mengenal suaminya.

"T..Tuan Arashi dulunya pernah menjadi rekan saya saat menjalankan latihan kemiliteran di kawasan Laut Timur Jepang. Saat itu beliau masih menjabat sebagai Letnan."

Mendengar soal kata letnan, jabat-menjabat, serta pangkat-pemangkatan itu, pandangan ibu itu pelan-pelan tunduk, helaan napasnya terdengar pilu.

"Ah ... begitu, ya," ungkap ibu itu halus.

Aku yakin, ekspresi beliau yang mendadak seperti itu sebab beliau teringat akan masa lalu suaminya. Memang, Tuan Arashi saat ini sudah tidak lagi menyandang jabatan apapun dalam armada laut Jepang. Bahkan sudah bukan merupakan seorang tentara lagi. Hal ini terjadi sebab Beliau terlibat dalam suatu insiden dalam masyarakat dua tahun lalu.

Ah ..., sebaiknya penjabaran kenangan ini aku bungkam saja dari istri beliau. Ingatanku akan kebersamaan bersama Tuan Arashi hanya akan membuat mental istri beliau semakin terpuruk.

Suasana hening sejenak, sampai aku lalu memecah kebuntuan, sebab beberapa masyarakat di sekitar juga mulai mendekat ke arah kami. Mereka bertanya serupa, ada apa dengan sesuatu di antara kami bertiga. Sang istri menjelaskan, aku melanjutkan omongan.

"Ah, sudah telpon ambulans???" Salah satu pria parubaya yang ada di dekatku bertanya panik. Aku mengangguk, laju menyuruh semua untuk tetap tenang, dan bersiap menyusun skenario, perihal bagaimana tubuh ini kelak akan diangkat ke dalam mobil.

Di tengah irama padu perembukan antar warga di sekitar Tuan Arashi, tiba-tiba, jauh dari arah terselenggaranya festival, aku melihat dengan mataku sendiri, seorang gadis berlari dengan begitu gancang. Ia, dengan mengenakan yukata cantik serta rambut yang diikat ikal dengan begitu permai, berseru-seru mengucap 'ayah' dalam keparauan suara. Semakin jelas terdengar seiring waktu, bahwasanya perempuan itu sedang dilanda kekhawatiran akut atas apa yang sedang menimpa sosok yang ia teriakkan itu. Semua hal barusan begitu kencang mencuri perhatian kami semua.

Jauh dari dalam lubuk hatiku, mendengar suara itu juga merupakan suatu kilas balik untukku. Sebab ...,  lantangnya, padunya suara itu, rasa-rasanya memang tak asing bagiku.

Ah, Miyako ini sempit sekali, ya. pikirku dalam hati.

Ibu itu, alias istri dari Tuan Arashi, dan aku rasa sekaligus juga merupakan ibu dari gadis yang berteriak itu, balik berkoar ke arah anaknya, menyuruh mempercepat langkah menemuinya di sini.

Happiness is the Best HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang