Keesokan paginya,
*Ting ....
[1 pesan baru dari Akihito]
"Eh? Akihito mengirim pesan?"
"Ah ...."
Aku persis saat ini sedang santai sembari memandangi hamparan laut di kejauhan dari atas gazeboku, ketika aku membaca sebuah pesan yang baru saja kuterima dari salah satu rekan kerjaku sesama tenaga medis. Di pagi hari yang tumben-tumbenan lumayan terang ini, ia mengirimiku swafoto dirinya beserta anak perempuan semata wayangnya di taman bermain Disneyland, jauh nun di Tokyo sana. Keindahan, kehangatan, serta kegembiraan, ketiganya begitu tergambar dalam foto itu sekaligus.
Aku sebenarnya sudah memprediksi bahwa rekan yang setahun lebih tua dariku ini pasti suatu saat akan mengirimkan ini kepadaku saat libur. Soalnya, sejak masih di lautan lepas pun Akihito-san sudah keduluan girang ketika mendengar kami mendapat waktu off di masa-masa penghujung tahun, membuat janji antara dia dan anaknya pun pada akhirnya mampu terwujud.
「Lihat, Kaito-kun! Akhirnya kami bisa ke *ヂズニーランド!!!」Begitu pesan yang tertulis menyertai gambar itu.
*Dizunii rando (Disneyland)
Yah, walau untuk sekarang nyatanya aku tidak lebih dari sekedar mas-mas jomblo yang terkesan gabut sepanjang liburan, aku tetap berseri ketika membaca kabar dari mitraku ini. Jelas sekali dari senyuman ayah-anak dalam gambar itu, mereka pasti bahagia luar dalam. Di dalam hatiku pun aku turut membayangkan, betapa gemilang riwayatku bila kelak mampu melakukan kebersamaan serupa yang Akihito dan anaknya itu lakukan. Namun bukannya aku pesimistis, tapi memang, hal itu tak mudah bagiku.
Mendiami vila bukanlah pilihanku satu-satunya. Karena sebenarnya, aku bisa saja menghabiskan liburku untuk berpergian kemanapun aku mau di Negeri Sakura ini, kau tahu. Aku bisa ke pantai, mendaki gunung, pergi ke pemandian air panas terkenal, atau mungkin untuk terbang ke pusat peradaban Tokyo dan menghabiskan sepertiga gajiku di sana. Akan tetapi, tidak.
Aku tidak mau liburan; jauh-jauh dari vila yang damai ini. Bukan karena masalah finansial, melainkan menurutku liburan seorang diri itu sama saja seperti kita merepotkan diri sendiri. Waktu dan tenaga dijamin bakal terkuras untuk mengurusi badan ini agar bisa berkelana ke tempat-tempat menawan itu. Sementara, mengajak Kokuto ikut liburan denganku adalah suatu kemustahilan. Dia cinta mati dengan posisinya sebagai kasir di toko kakek. Yah, bisa dikatakan, kami berdua adalah manusia yang terpaku mati di tanah ini.
----
Ngomong-ngomong, aku akan kembali berlayar mulai bulan Januari 2016 kelak, sekitar 3 minggu lagi dari sekarang. Dan yah, karena aku masih terikat dengan penugasan di wilayah perairan bersama para prajurit muda, aku akan kembali berlayar ke lautan lepas, menuju Selatan. Sementara itu, lebih dekat, aku berencana untuk kembali mengunjungi kakek di rumahnya pagi ini. Bukan untuk sekedar bersilaturahmi, namun ada sesuatu hal yang ingin aku ceritakan pada kakek.
Ini mungkin tidak terlalu penting bagi kehidupan kami, namun mungkin setidaknya bisa mengubah pandangan kakek tentang Arashi-san. Karena jujur, sejak hari pertama liburanku,
Aku telah mengalami banyak kejadian di tanah ini. Sebagian telah ku ungkapkan, sebagiannya segera.
//-
HAPPINESS IS THE BEST HEALER
-//
Kemudian ....
Di toko kakek ....
Ku lihat kakek baru saja keluar dari pintu depan rumahnya, yang ku tebak pasti hendak menuju toko. Langkahku tak terjeda sedikit pun sejak dari vila, hingga ke depan toko serba ada ini. Atas dasar itu, aku bermaksud hendak menyela langkah pria 72 tahun itu demi obrolan yang ku dambakan terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happiness is the Best Healer
Teen FictionTak peduli siapapun dirimu, di manapun kau berada, dan apapun yang kau lakukan untuk menjalani hidup, kau pasti akan menemukan kebahagiaan. Hal yang disebut-sebut tak dapat dibeli oleh uang ini, mereka datang dengan beribu-ribu cara, bahkan termasuk...