#32 Panggilan Masuk

9 1 0
                                    

"Dijebak?"

"A-apa maksudmu, Arashi?!" Istriku terlihat was-was. Tatapannya tajam ke arahku.

"Aku dijebak," ulangku, kembali meraih telpon genggam di atas meja, yang layarnya masih menyala itu.

"Foto ini adalah jebakan." Aku menunjukkan sekali lagi foto yang terpatri di layar itu kepada istriku.

"Tapi dijebak ...? Mengapa? Apa kamu sudah melakukan sesuatu yang buruk sebelumnya? Apa ada yang menjadi musuhmu di luaran sana?" timpal istriku, dengan kedua tangan menengadah di sampingnya, setengah mati terheran.

"Aku benar-benar tidak tahu."

"Baik motifnya, tujuannya, bahkan siapa yang terlibat pun aku tak tahu." Aku tertunduk, menggeleng-geleng lemas. Begitu membingungkan, sampai-sampai aku ingin pasrah saja membiarkan semua kemungkinan untuk terjadi, namun tentu aku tidak bisa.

"Sialan!" Aku kembali menaruh telpon genggam itu di atas meja makan. Lekasnya, aku beranjak dari kursiku dan berjalan ke sana kemari sembari menggosok ubun-ubunku dengan kedua tangan.

Aku kian berpikir, tentang apa yang sebenarnya terjadi. Rasanya sungguh tak masuk akal, bagaimana bisa aku dijebak orang seperti ini?

Istriku hanya senantiasa duduk di tempatnya, di kursi di seberang meja makan sana, namun aku pun tahu bahwa dirinya tak sedang tenang. Kami terlibat dalam momen keheningan yang berlangsung beberapa saat, sampai istriku kembali berujar.

"Mendengar ceritamu bahwa kamu sama sekali belum pernah melihat wanita itu sebelumnya, sudah pasti dia adalah suruhan orang lain, bukan." Istriku berpendapat.

"Jelas dia adalah suruhan. Karena memang aku bersumpah, bahwa aku tidak pernah melihat batang hitung wanita itu sebelumnya." Aku mengiyakan dengan tegas sembari berkacak pinggang.

"Tapi ...." Aku menunduk, kembali melangkahkan kaki mondar-mandir.

"Jika dia memang suruhan, aku yakin orang yang menyuruhnya itu bukanlah orang biasa." Aku mengacungkan sebelah telunjukku, tanda keyakinan yang tinggi.

"Dia, orang itu pasti sedikit banyak tahu tentang agendaku." Aku melempar tatapan ke istriku, mengajaknya berpikir bersama ke arah premis itu.

"Dia pasti tahu bahwa aku berencana untuk pergi ke festival pada hari itu," sambungku.

"Tapi, aku tidak memberitahu siapapun, lho, bahwa kamu pergi ke festival malam itu, kecuali pada anak kita, Hisoka." Istriku meladeni.

"Dan si Touno tentu saja. Ya, hanya kalian bertiga yang tahu." Aku lantas menambahkan satu sosok lagi.

"Kamu benaran, kan, tidak cerita ke tetangga kalau aku ke festival?" Agak merasa ragu, aku coba mengubah pertanyaanku, yang lantas dijawab dengan berubahnya intonasi istriku menjadi dongkol.

"Sama sekali tidak, ya!"

"Lagi, buat apa, sih, aku menceritakan itu pada tetangga? Itu hanya akan membuat mereka berpikir kamu pergi sendiri karena tidak peduli dengan keluargamu! Aku tidak ingin menimbulkan asumsi yang tidak-tidak soalmu!" jabar istriku, menggenapkan keyakinanku bahwa hanya ada tiga oranglah yang tahu.

"Benar juga, ya." Aku tersenyum, seakan pertanyaan tadi hanya untuk mempermainkan istriku, lalu kembali duduk di kursiku tadi. Mungkin tak apa jika suasana sedikit cair, bukan begitu?

"Bagaimana dengan si Touno itu? Apa kamu tidak menaruh curiga padanya?" Istriku kembali menyambarku.

"Touno, ya ...." Aku berpangku dagu dengan kedua tanganku.

"Wajarnya aku curiga dengan dia, sih ...."

"Namun, pria itu, rasanya sulit sekali membayangkan dirinya mengkhianatiku." Aku menggeleng kecil.

Happiness is the Best HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang