Demi mengantarkan bingkisan ini, kedamaian waktu soreku mau tak mau mesti jadi gantinya. Demi hal ini pula, aku jadi harus bertemu dengan pria itu lagi. Tapi untunglah, dunia menyelamatkanku. Sebab kali ini aku tidak sendirian, bersamaku kini ada Ria, si cemerlang dari tanah Miyako.
Kebetulan sekali tadi, baru saja hendak lepas landas dari rumah, Ria sudah ada di depan pintu rumah. Ternyata ia memang mau mampir ke rumah. Kedatangannya itu pun diketahui oleh kedua orang tuaku.
Terjadi perbincangan singkat antara aku, Ria, dan kedua orang tuaku ketika itu. Lalu pada akhirnya, ayahku dengan segala sifat untung-untungannya pun malah menyuruhnya untuk pergi menemaniku memberikan bingkisan ini. Ria, sebagai sahabat sekaligus adik-adikanku yang penakut terhadap orang-orang berbadan kekar dan tegap, tentu dia tak bisa mengelak dari suruhan tersebut. Sehingga, singkat cerita, kini kami berdualah yang ditugaskan mengantar 'paket' ini.
Di tengah perjalanan, masih seperti Ria yang biasanya, ia terus-terusan mengoceh, bersenandung, serta bergembira melampiaskan rindunya padaku yang baru tertabung selama 3 hari itu.
"Wah ... sudah lama banget kita gak bisa berdua gini, ya, Kak." Ria menoleh padaku. Lengannya ia jalin di belakangnya, sembari terus melangkah dengan begitu centil di sebelahku.
Aku hanya membalas senyum.
"Maaf ya, Kak. Belakangan kelasku sibuk mulu sama urusan festival. Kami emang gak sabar sih soalnya! Hehehehe ...." Ia melepas eratan antar-tangannya sendiri, lalu mengelus tengkuk sambil tertawa kecil.
"Apalagi karena aku ini bendahara kelas, jadi kehadiranku bener-bener diperlukan sama kelas. Aku jadi gak punya waktu untuk bersantai," lanjutnya menjelaskan.
Ria tampak merasa bersalah didengar dari ucapannya barusan. Jujur, aku merasa tidak enak akan hal ini. Ayolah, bukan termasuk kesalahan jika yang kau maksudkan itu menelantarkan ku pulang sendirian selama tiga hari berturut-turut.
"Hmm ...." Aku menggeleng pelan. "Kau tak perlu meminta maaf sebegitunya, Ria-chan. Aku paham, kok, akan posisimu,"
"Malah sebenarnya, aku yang merasa tidak enak padamu. Kau jadi harus menemaniku untuk memberikan bingkisan ini," lanjutku lesu, sembari menatap kemasan yang ada di genggamanku ini.
"Dan ..., kau juga sudah repot-repot membawakan parsel buah ke rumah. Terimakasih, ya," sambungku.
Ya, saat Ria berkunjung tadi, ia turut membawa segepok parsel di depan dirinya yang ia topang dengan kedua tangan. Ibuku dengan segala sifat untung-untungannya pun lekas menyambut berkah Tuhan tersebut sembari memuji-muji kecantikan sang 'kurir' seakan bicara dengan malaikat.
Tenang saja, Aku tidak iri, kok.
"Ahhh ..., parsel buah itu? Kakekku yang 'ngasih parsel itu. Dia terkenal punya kebun jeruk sama anggur yang lumayan luas di daerah Hachimantai."
Aku menyimak diam.
"Ngomong-ngomong kakekku tuh baik banget, loh. Bayangin aja, Kak, setiap panen, dia cuma memperjualkan setengah hasil panennya."
"Oh. Dan setengahnya lagi?" tanyaku.
"Dan setengahnya lagi beliau bagi-bagiin ke semua keluarga kami tanpa terkecuali."
Aku lantas terpukau mendengar hal tersebut. Sebab seumur-umur aku punya kakek, paling cuma diberi nasehat.
"Tahun ini Mama bahkan aku ngerasa banget kalo pemberian kakek kebanyakan, jadi aku disuruh ngasih satu untuk kakak."
"Uwah ...! Enaknya ...."
"Pantas saja kau pintar, Ria-chan. Asupan nutrisimu selalu terpenuhi, sih."
"Ehehehe ... kakak bisa aja." Ria menyengir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happiness is the Best Healer
Teen FictionTak peduli siapapun dirimu, di manapun kau berada, dan apapun yang kau lakukan untuk menjalani hidup, kau pasti akan menemukan kebahagiaan. Hal yang disebut-sebut tak dapat dibeli oleh uang ini, mereka datang dengan beribu-ribu cara, bahkan termasuk...