#30 Pengakuan Yang Solid

9 2 2
                                    

"Ngomong-ngomong, pada saat acara itu, di mana Tuan Minamoto berada? Beliau pasti datang juga, kan," tanyaku.

"Ah, tentu saja hadir. Tapi, dia yang saat itu ya dia yang seperti biasanya."

"Ia ramah, selalu mampu menyesuaikan diri di setiap obrolan."

"Tuan mengobrol dengannya?"

"Hm ... , kurasa tidak. Kami tidak mengobrol sama sekali bila yang kau maksud adalah obrolan empat mata. Kami hanya saling bertemu pandang, mengucapkan salam, dan itu pun terjadi ketika di keramaian."

"Tapi, itu sudah jadi hal yang biasa di antara kami. Jadi, aku tidak terlalu mempersoalkannya."

"Ada secercah firasat dalam diriku saat itu, bahwa kabar soal aku yang menganiaya istriku bersumber dari dirinya. Tapi, aku tidak bisa langsung membuktikan semuanya di hari itu."

"Namun keyakinanku meningkat drastis, saat festival musim semi tokyo berlangsung."

"Sebenarnya, setelah agenda peresmian itu selesai, aku bisa saja pulang langsung menuju Miyako. Namun, karena kebetulan kudengar akan ada festival sakura di Tokyo, niatku tertunda."

"Aku pun memutuskan untuk izin bermalam di mos militer, sehingga besoknya, aku bisa menyaksikan festival itu sebagai penutup malam keberadaanku di ibukota."

"Sayang sekali aku tidak bisa mengajak istri dan anakku. Mengingat ketika itu sedang dalam masa awal tahun ajaran baru, mereka pasti sedang sibuk. Terkhusus anakku."

"Karena aku tidak ingin pergi sendiri, aku pun coba mengajak Tohno. Ia mengiyakan ajakanku, tapi dua kali disayangkan, keesokan harinya, ia terpaksa mangkir karena istrinya mendadak kontraksi."

"Jadi, sebab aku sudah terlanjur menginap dan menghabiskan setengah hariku hingga beberapa jam sebelum festival, aku tak punya pilihan lain selain datang ke sana seorang diri."

///

Happiness Is the Best Healer.
///

Masih di hari yang sama,
19:33 Malam.

Ketika ombak dari lautan jauh tak henti-hentinya bergulung menuju pesisir ....

Ketika sosok bulan separuh itu bergerak makin naik melalui orbitnya ....

Ketika ocehan-ocehan kaum pria dewasa memenuhi ruangan, aroma khas sake dan bir tak mampu dielakkan lagi, menusuk langsung ke hidungku sampai-sampai lidahku seakan bisa merasakannya tanpa menyentuh.

"Oji-san, tambah sake!"

"Meja sini juga!"

"Haiiii, haiiii, sebentar, ya ...!"

"Jadi,"

"Tiba saat malam hari, aku datang seperti yang telah kurencanakan."

"Singkat cerita, ketika saat itu aku sudah setengah jam berada di area festival, aku memutuskan untuk membeli kopi instan di salah satu stan makanan yang ada di sana. Hawanya masih lumayan dingin."

"Penjual menyeduh kopi milikku, lalu memberinya padaku, dan lantas kuterima." Beliau memperagakan tangannya seperti sedang menerima sesuatu dari arah depan.

"Lalu, saat aku baru saja berbalik badan setelah menerima kopi di tanganku," intonasi beliau naik, mungkin bersiap memasuki inti obrolan.

"A..Apa yang terjadi, Tuan?" timpalku. Sedikit gereget dengan jeda singkat yang terjadi.

"Aku lantas bertabrakan dengan seorang wanita," sambung Tuan Arashi kembali turun, namun tetap jelas.

"Wanita? Seperti apa dia?"

"Wanita itu ..., layaknya pengunjung kebanyakan, ia mengenakan yukata pada waktu itu. Yukata berwarna merah padam."

"Tingginya kurasa sedaguku. sedikit lebih tinggi dari istriku. Dan umurnya, kurasa 30-35 tahun .... Ya kira-kira seperti itu, lah."

"Lalu? Apa yang terjadi saat kalian bertabrakan, Tuan?" Aku kembali bertanya.

"Ah ... berantakan sekali. Semua yang ia genggam terjatuh sia-sia di atas tanah. Orang-orang di sekeliling kami pun spontan menoleh." Tuan Arashi menggeleng-geleng.

"Wanita tersebut diam sembari bungkuk mematung. Kulihat ia meratapi makanannya yang jatuh tak berbentuk di bawahnya. Permen kapas, dango, dan kurasa ... es serut warna-warni yang sudah tak berbentuk di bawah sana ...."

"Aku tentu saja meminta maaf, karena aku tahu betul itu adalah kecelakaan."

"Ia tidak menjawab. Malah, ia terlihat mengusap muka dengan kedua tangannya. Aku tak jelas melihat apa yang ia usap, namun tak lama setelah itu, aku mendengar isakannya mulai keluar."

"H..Hei, kau tak apa?"

"Dia tidak menjawab pertanyaanku. Namun, ia tetap berujar, mengenai hal lain."

"Hks ...."

"Makananku ...."

"45 tahun aku hidup, aku tidak pernah paham bagaimana rasanya menanggung malu karena sudah menjatuhkan makanan seseorang, sampai hal itu terjadi."

"Karena dirinya yang mulai menitikkan air mata, aku panik. Wajar, kan? Belum lagi orang-orang makin banyak yang menyadari kejadian itu, aku semakin gelagapan."

"Tentu, satu-satunya tindakan yang bisa kulakukan adalah membujuknya agar diam."

"Oi, sudahi tangismu. Laginya tidak ada yang sakit, kan?"

Ehhhh .... T..Tuan serius membujuk seperti itu ...?

"Tampaknya, wanita itu tidak akan diam sebelum ia mendapatkan kembali semua makanannya tersebut."

"Aku pun buru-buru mengeluarkan dompetku, mengambil selembar uang 100 Yen dan lalu ku berikan padanya."

"Ini, tolong ambillah! Untuk mengganti semua yang jatuh. Sekali lagi, maafkan aku."

"Tapi kau tahu, Ia tidak kunjung menerimanya. Malah, masih saja menangis dan ketika itu dengan volume yang lebih kuat."

"HIKS ... HUAAAHAHAHAHAHAAA MAKANANKU ...!"

"B..Baik, baik. Tolong tenang! Aku akan menggantinya sekarang."

"Pokoknya, tolong tenangkan dirimu dulu, ya."

"Dan karena sudah kelewat panik dan habis akal, aku pun mau tak mau membujuk dirinya dengan cara meraup pundaknya mengikutiku demi untuk bisa meninggalkan tempat itu, lalu membeli ulang semua makanannya yang tadi terjatuh."

"Singkat cerita, aku menemaninya membeli semua yang tadi tak sengaja terjatuh ketika kami bertabrakan. Syukur, ia tidak lagi merengek lepas itu."

"Dan ketika ia telah mendapatkan semua yang ia inginkan, ia pun kemudian membungkuk padaku dengan penuh hormat."

"Arigatou Gozaimasu. Maaf merepotkan sudah merepotkanmu."

"Lepas itu, ia berbalik, lalu berjalan menuju arah pintu keluar area festival, membelakangiku tanpa menoleh kembali satu detik pun."

"Saat itu aku berpikir, mungkin wanita itu hanya sekedar orang yang kurang mampu. Jadi, karena makanannya buyar, ia merasa sangat sedih. Mungkin saja wanita itu telah bekerja sangat keras sehingga bisa membeli cemilan itu."

"Tapi, Kaito," Beliau tiba-tiba memelankan suara. Aku pun mendekatkan wajahku agar terdengar kelanjutannya.

"Sesungguhnya, dialah yang tidak lain tidak bukan, merupakan sosok yang kutembak dengan pistolku waktu itu," ucap Beliau begitu hati-hati dan perlahan.

Bulu kudukku berdiri, tubuhku lantas bergeming hingga ke sendi.

Ini jelas adalah pengakuan yang solid, langsung dari mulut beliau, yang di mana saat ini adalah pertama kalinya aku mendengarnya. Benar-benar pemungkas dari rasa penasaranku selama ini. Dan tentu saja, aku yakin tidak ada kebohongan di kalimat itu.

Bersambung ....

Happiness is the Best HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang