#12 Tanda Terimakasih

34 16 154
                                    

Tes?! Tes apa coba?!?!

Astagaaaaa!!!

Dan begitulah, hari-hari di mana kebahagiaan senantiasa menjalin persahabatan dengan Narakawa Hisoka, seakan-akan mereka adalah sejoli yang tak dapat dipisahkan.

_____

Happiness Is the Best Healer.

_____


16:12 Sore.

Sepulang sekolah, di kantor guru ....

"Narakawa-san. Etto ... tolong berikan ini pada orang tua atau walimu, ya."

"Eh ... Maaf, i-ini isinya apa, ya, Sensei?" tanyaku sembari menyambut sebuah amplop yang diberikan oleh wali kelasku.

Sebelum pulang sekolah tadi, aku sempat diberitahu oleh wali kelasku agar langsung menghadap ke mejanya sepulang sekolah. Tak jelas tujuannya apa, tapi ketika melihat wajah sensei saat itu, intensinya serius sekali.

Ubaragasaki Yuki-sensei, beliau merupakan salah satu guru fisika di SMA ini yang mengajar kelas 12 dan sekaligus, merupakan walikelasku. Beliau sendiri sudah menjadi walikelasku semenjak tahun ajaran sebelumnya.

Aku tak tahu pasti, apakah mengulangi kelas dan berjumpa dengan walikelas yang sama adalah sebuah keberuntungan atau justru sebuah kesialan. Tapi yang jelas, dikarenakan hal ini, aku yakin Yuki-sensei adalah guru yang paling mengenal diriku di sekolah ini.

"Santunan." Yuki-sensei menjawab.

"Bencana alam?" timpalku bingung.

"Hah ... bukan, lah." Beliau menepuk jidat. "Itu surat pernyataan! Tertulis di sana, tidakkah kau lihat?" sambung beliau, kesal.

Mendengarnya, aku pun lantas memandangi amplop ini, dan bertemu pandang dengan tulisan yang memang sudah ada di bagian depan amplop.

"Heh ...? Surat pernyataan ...!?" Mataku berpaling pada beliau. Terasa panik bercampur tidak percaya.

"Tu..Tunggu, Sensei! Saya mohon ..., beri saya kesemp-"

"Kamu sadar tidak, sih ... perilakumu ini tak ada untungnya sama sekali, Narakawa-san?" potong walikelasku. Keningnya tanpak berkerut. Matanya memeram menahan sabar.

Aduh ... nampaknya akan ada agenda penceramahan lagi hari ini ....

"Maafkan saya, Sensei. S-Saya benar-benar insaf atas perilaku saya," responku sembari membungkukkan badan penuh hormat pada beliau.

"Seribu maaf sudah terhaturkan olehmu, Narakawa-san. Tapi, tetap saja kamu tak pernah berubah," ungkap Yuki-Sensei semakin frustasi. Beliau terlihat memalingkan wajahnya dariku.

"Dulu, sewaktu kamu ditetapkan tinggal kelas, kamu sempat berjanji untuk berubah."

"Tapi apa ...? Nyatanya sama sekali tidak ada perubahan. Kebiasaanmu itu tetap berlangsung hingga sekarang," timpal beliau keras. Kedua tangannya menyamping serta mengadah ke atas, terlihat begitu kecewa.

"Laginya, apa kamu sebegitu teganya melalaikan pelajaran hanya demi kesenangan sementara?" Wajah Yuki-sensei terlihat semakin mengkhawatirkan seiring bertambahnya ucapan.

Aku sejenak merenung, kembali mengingat-ingat soal kejadian suram di kemarin hari. Rasa-rasanya semalam aku sudah bertekad untuk mulai mengevaluasi diriku menuju ke arah yang lebih baik. Pemikiran itu pun pada akhirnya memicu perasaan hatiku untuk membela diri.

"Cobalah kamu-"

"Sensei, saya juga sebenarnya kasi-"

"Cobalah kamu ingat kembali kala itu, ibumu datang ke meja ini dengan wajah penuh rasa bersalah. Beliau meminta maaf atas perlakuan yang sama sekali bukan ulahnya itu."

Happiness is the Best HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang