*KLIK
*KLIK
*KLIK
"Ria-senpai, udah lama ga mampir ke sini, ya. Kemana aja?"
"Ah ... anu ... i..iya aku belakangan sibuk banget soalnya, Ko-kun. Hihi ...."
"Ah, begitu."
"Ngomong-ngomong, ini aja?"
"Haii."
Hari itu, tatkala matahari telah lenyap tak bersisa dari langit, ditempatku berdiri, aku memandangi suasana di luar toko sembari menunggu belanjaan ringan kami selesai dihitung.
"Lima item, totalnya 650¥."
"Haii, 650¥."
*1¥ bernilai ±Rp108,00
"Uangnya pas, ya."
Di tengah dialog umum antara kasir dan pembeli yang terjadi di depanku, aku malah mengangguk-angguk kecil menuruti lagu pop yang berlantun lembut dari arah kejauhan. Membuat diriku menjadi terbawa suasana, sampai aku sendiri bertanya-tanya dari mana kah sumber suara itu berasal. Di pojokan toko, ternyata terpasang sebuah speaker berwarna hitam yang tak terlalu besar. Itulah jawabannya.
Terangnya lampu putih di dalam toko menyinari sekujur diriku dan Ria. Kami seakan-akan adalah artis di panggung oleh karenanya. Pantulan kaki kami tercipta di ubin oleh sebab cahaya tersebut, mengikuti kami kemana pun kami pergi, namun semakin samar ketika kaki kami meninggalkan cahaya menuju luar toko.
"Terimakasih telah berbelanja di toko kami!"
*TINUUU NINUUU NINUUU
----
Di luar kini gelap, pastinya. Di sisi lain, awan-awan peninggalan era sore yang tebal masih senantiasa membayang-bayangi kami dari kejauhan langit dongker. Kaki kami berdua pun kembali menapaki salju jalanan setelah itu, sementara malam terus bersinambung.
Ria dan aku, kami berdua sangat senang telah menyelesaikankan tugas kami (sebenarnya tugasku) pada hari ini. Dan sisanya, yang mesti kami lakukan hanyalah berjalan damai menuju rumah masing-masing, sembari mengemili jajanan yang Ria beli di toko barusan.
Tak banyak kendaraan, hanya sebuah mobil sedan yang beberapa detik lalu melintas di samping kami. Pun kini cahaya dan getaran mesinnya sudah sirna menjauh dari indra kami.
Terang dan gelap silih berganti menyinari kami dan jalan kami berdua yang berasal dari lampu jalan yang kami lalui tiap 15 meter. Dalam kurun waktu itu, terdengar di telingaku, suara kaleng minuman yang membuka. Aku menoleh spontan ke arah temanku, Ria. Di mana kala itu ia sedang membuka segel minuman kaleng lalu meminumnya.
Jarinya cekatan mencungkil penutup tanpa butuh waktu lama. Dan ketika terbuka, tangan kanannya langsung bekerja dengan mengayunkan kalengan itu ke arah atas, persis ke depan mulutnya yang sudah monyong mendongak ke atas. Untuk sesaat, aku seakan sedang melihat gambaran diriku sendiri. Tak ada anggun-anggunnya.
Sungguh, nampak berbeda sekali ketika aku melihat sosok Ria yang melakukannya. Gayanya membuka serta meminum minuman itu nyentrik sekali layaknya remaja yang telah hanyut ke dalam arus globalisasi. Tak seorang pun kurasa akan menyangka kalau Ria yang sedang minum ini adalah gadis tercerdas seantero Miyako.
"Ah segernyaaa ...."
"... Aku tak menyangka kau sebegitu doyannya dengan minuman kaleng, Ria-chan," ucapku berseri. Aku lantas membuka tutup botol minuman jerukku. Giliranku untuk minum.
"Hehehehe .... Kesannya beda banget, ya?" Ria menutup bibirnya dengan sebagian jari sembari memejam, seakan sadar dirinya telah kelepasan di depanku.
"Tepat." aku membalasnya tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happiness is the Best Healer
Teen FictionTak peduli siapapun dirimu, di manapun kau berada, dan apapun yang kau lakukan untuk menjalani hidup, kau pasti akan menemukan kebahagiaan. Hal yang disebut-sebut tak dapat dibeli oleh uang ini, mereka datang dengan beribu-ribu cara, bahkan termasuk...