#28 Dikalahkan Hingga Akhir

4 1 0
                                    

Malam itu, sosok bernama bulan bersinar terang di tengah langit malam yang kosong tanpa awan. Dari tengah penampakan, ia begitu damai menyertai rakyat Miyako dan peristirahatannya, sembari ditemani gemerlap bintang-bintang kecil yang sesungguhnya adalah raksasa bagi dirinya.

Aku merebut kembali suasana alam di kulitku selekasnya melangkah keluar dari kereta. Kemudian, dari stasiun, langkahku lurus meyusuri jalanan di tepi teluk, melanjutkan sisa malamku ditemani terpaan angin laut yang dingin, mendengar ombak tenang yang mendesis ramah pada tanggul tiap 3 detik sekali.

Niatku ingin segera pulang, menyimpan sepatu di rak, mengganti baju, menyimpan yang kotor di mesin cuci, menyimpan telepon lipatku di mana saja, menyeduh mie instan, minum, nongkrong di  gazebo sebentar, masuk vila lagi, lalu tidur.

Namun tentang apa yang terjadi pada malam itu, kau pasti bisa menebak pada akhirnya aku tak bisa sepenuhnya memenuhi niatku itu tepat waktu. Segalanya menjadi tertunda, ketika aku melewati suatu area di tepi teluk, di mana area itu merupakan tempat di mana ombak dari lautan lepas dileburkan, dan juga sebagai tempat yang dikenal masyarakat karena merupakan spot memancing terbaik di Miyako. Takahama Area Breakwater.

Angin tiba-tiba bertiup kencang kala itu, mulai berubah haluan dari dataran tinggi di tepi teluk menuju ke perairan di sebelah kananku. Salahku mengapa aku mengenakan cap dengan setengah-setengah. Sebab ketika angin di sekitar merangsak melalui tengkuk ku, topi itu terangkat dari tempatnya, yakni kepalaku, dan terbang tak terkendali menuju arah laut.

Aku yang kaget berusaha mendapatkannya dengan cara meraih dengan tanganku, namun tentu saja aku gagal. Topi itu melayang di udara, dan dalam waktu yang singkat kembali menyentuh daratan. Namun begitu, topi itu terus menggelinding akibat angin, hingga ke ujung sebuah dermaga kayu di salah satu spot pemancingan. Dermaga itu tak punya persimpangan, hanya lurus dari tepi hingga ke ujung. Tersusun dari kayu-kayu tua namun tetap tertata rapi dan tampak kokoh dengan pilar-pilar kayu yang tegak di sampingnya setiap setengah meter.

Aku mengejar kemana topi itu pergi. Tapi ketika kulihat laju topi itu kencang sekali menjauhiku, aku jadi tak yakin bisa meraihnya. Maka, aku spontan melambat dan hanya mengamati topi itu kemana ia pergi. Di saat-saat itu, aku sudah memutuskan untuk pulang saja dan merelakan jika seandainya topi itu tercemplung ke air.

Tapi sesaat setelah itu, aku senantiasa mengamati, ternyata, terhentilah laju topi itu sebab terbentur ember yang berdiri gagah di tepi dermaga. Aku spontan girang, lalu lekas berjalan menuju ke arah ember itu, yang di mana, terdapat pula sosok tinggi dan tegap yang berdiri di sebelahnya.

Tentu saja, begitulah jalannya aku bisa bertemu dengan beliau, Tuan Arashi. Pada malam itu, saat sampai ke tepian dermaga, aku lembut mengucapkan permisi pada sosok pria itu sebab ingin mengambil topiku tanpa menyebabkan gangguan. Dan saat sosok yang sedang menggenggam joran itu mendengar suaraku, ia menoleh dan tampak seperti terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba.

"Hm? Siapa!?"

Aku tak mau menimbulkan kesalahpahaman apapun pada orang itu. Jujur, aku sedikit takut pada nada suaranya yang begitu bulat. Di tengah-tengah diriku yang sedang jongkok mengambil topi itu pun, aku buru-buru berdiri dan berniat menjelaskan apa yang terjadi.

"Ah, saya mohon maaf, Pak. Saya hanya mengambil topi sa—"

Akan tetapi, seketika itu juga, saat kedua tatapan kami saling bertemu,

"T..Tuan Arashi?!"

"Eh ..., Kapten Kaito?"

Kami berdua mengalami fase waktu yang benar-benar singkat di mana saling terkejut ketika menyadari sosok lawan bicara satu sama lain. Kami saling terbelalak. Tak mampu berkata-kata pada awalnya, namun saling mengucapkan nama satu sama lain setelahnya. Jelas sekali beliau mengenal diriku, sebagaimana pula aku langsung menyadari siapa beliau.

Happiness is the Best HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang