Berbekal campur tangan dari Gya aku memintanya untuk mencarikan aku seorang gebetan. Sekarang aku sedang berjalan di lobbi Pacific Place menuju Busaba. Ini aku yang menentukan tempat, entahlah apa pertimbanganku sampai memilih Busaba untuk ajang kopi darat alias ketemuan sama calon gebetan. Ini bukan usaha untuk Mami yang minta mantu. Cuma aku saja yang ingin punya pacar setelah comma relationship lama. Sudah tidak terhitung berapa kali usahaku demi menuntaskan comma tersebut.
Gya mengenalkanku ke teman masa SMP nya. Namanya Rudi seorang junior pilot di salah satu maskapai penerbangan. Sebelumnya kami sudah berkenalan secara virtual. Maklum, saat mulai berkenalan Rudi sibuk berada di luar kota. Hari ini pertama kalinya kami bertemu.
Selama itu juga aku merasa Rudi merupakan nice person. Tidak ada keanehan apapun. Aku melihat tampilan diriku dari pantulan kaca dari butik yang aku lewati. Aman. Iya bagiku penampilanku sekarang aman.
Mengenakan jeans dan blouse putih tanpa lengan sepertinya bukan pilihan buruk. Apalagi aku sudah mengikuti tutorial make up no effort but flawless ala Ryan Ogilvy dan ini sudah kubuktikan dengan kata 'OK' dari Gya saat aku mengirimkan selfie sebelum berangkat untuk mengomentari penampilanku.
Sampai di pintu Busaba aku langsung bisa menebak yang mana Rudi. Lalu ia melambaikan tangannya ke arahku. Hmm, wajahnya masuk dalam kategori tampanlah menurutku. Kulitya putih bersih, badannya proposional dan penampilan Rudi OK lah.
"Hai, duduk Nar," perintahnya. Aku pun menuruti.
"Kita perlu kenalan lagi gak ya ini?" Tanyanya yang mungkin basa-basi.
"Gak usah lah ya Nar," jawabnya sendiri.
"Kamu cantik banget, lebih cantik dari di foto."
Aku hanya bisa tersenyum tipis. Aku belum mengeluarkan sepatah kata pun tapi dia sudah gencar mengeluarkan peluru.
"Kenapa gak mau di jemput Nar? Aku pasti mau loh kalau jemput kamu."
"Gapapa, ngerepotin. Kan sama aja ketemu juga disini," jawabku.
Aku memang sengaja tidak mau dijemput. Yang pertama kami baru kenal, aku sungkan. Lalu kalau Mami tahu yang ada akan heboh. Padahal ini baru permulaan. Bisa-bisa Rudi langsung disuruh melamarku. Repot.
"Aku bawain kamu hadiah nih. Ini cokelat dari Jogja. Cobain ya. Dia menyodorkanku paperbag berisi Cokelat nDalem.
"Makasih ya."
Kenapa aku menjadi tidak nyaman jadinya. Aku berusaha untuk tetap stay calm dan berusaha berbaur dalam obrolan yang ia ciptakan. Rudi banyak berbicara manis. Sudah tidak terhitung berapa kali dia memujiku. Ini berlebihan dan aku merasa aneh.
"Kalau kamu lagi keluar kota, kabarin aku aja. Nanti bisa aku susul apalagi kalau kita nanti satu kota."
"Oh gitu ya," jawabku malas.
"Nanti, aku ajak jalan-jalan Nar. Aku janji deh jadi tour guide kamu."
"Kamu kan sibuk kerja, kalau off sering jalan ya?"
"Iya, kalau off biasanya aku jalan gitu. Cari tempat makan atau hiburan lah."
Aku diam. Aku malas melanjutkan obrolan kami. Rudi terus bercerita tentang dirinya. Kesibukannya, pengalamannya dan tingkat rasa percaya dirinya diatas rata-rata. Aku hanya tersenyum menanggapi. Apa yang ingin aku tanyakan, semuanya sudah dia keluarkan. Bahkan dia sudah bicara mengenai masa kecilnya yang menyenangkan.
Lalu dalam sela obrolannya, dia mengelus kepalaku. Aku pun sontak kaget. Dia berani sekali dengan memajukan tubuhnya sampai menempel meja untuk menjangkau rambutku. Aku risih dan tidak suka ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Mom Is My Rival
ChickLitPunya ibu yang tak terlihat menua = tekanan batin. Mungkin itu rumus yang tepat untukku. Bayangkan saja di usianya yang sudah empat puluh lima tahun, Mami punya body goals perempuan milineal. Perut rata, tubuh proposional, kulit yang masih kencang d...