"Hampir aja kebungkus nih temen lo," kata Adit ke Gya.
"Ya so sorry Nar. Gue gak tahu kalau Rudi kayak gitu. Gue kira mah bener aja tuh orang," kata Gya memelas memberi penjelasan.
Kami bertiga terdiam. Aku tidak bisa menyalahkan Gya. Ini bukan salahnya. Dia tidak tahu kalau temannya seperti itu. Terlebih aku sendiri yang minta dikenalkan.
"Udahlah, nanti juga ketemu Nar. Mending lo cari sendiri daripada dikenalin orang," saran Adit.
"Ya siapa? Kapan? Dimana gue bisa ketemu?" Kataku putus asa.
Kami terdiam lagi.
"Segitu banyak nya cowok dikantor, gak ada yang oke apa?" tanya Gya.
"Banyak sih."
"Cuma gue invisble. Gak terlihat sama mereka," kataku melanjutkan dan dibalas dengan Gya dan Adit terbahak mendengar perkataanku.
"Jangan insecure dong Nar. Banyakin bersyukur. Masih banyak jalan menuju Roma," ucap Gya menenangkan.
"Hilih basi!" Jawabku ketus.
"Lagian kenapa jadi ngebet banget sih? Kemaren lo anteng aja," tanya Adit.
"Ya, gue ngerasa sendiri aja kemarin. Kalian punya pasangan. Sedangkan gue dari Gya jomblo sampai tiga kali punya pacar tetep aja gue masih jomblo," jawabku dan mebuat mereka tertawa lagi.
"Ya sekarang kan gue juga Nar. Santuy lah ada Abang. Tungguin sampe gue dapet cewek lagi dan lo masih disitu aja."
"Kampret ya lo," kataku ke Adit yang langsung tergelak mendengarnya.
"Sini mana ponsel lo Nar," pinta Adit sedikit memaksa.
Aku memberikannya dan dia langsung membuka kontak di aplikasi WhatsApp. Adit terlihat mensortir beberapa orang.
"Kalo dia udah jadi kontak kan pasti lo udah kenal sebelumnya. Dari sini aja Nar. Kita mulai ya," kata Adit memberiku aba-aba.
"Andra?"
"Udah tunangan," jawabku.
"Chiko?"
"Baru nikah bulan lalu."
"Daren?"
"Bapak anak satu."
"Punya istri gak? Kalau bapak anak satu doang mah masih bisa Nar."
"Error ya lo Dit," Gya yang menjawab.
Memang menyebalkan si Adit. Beberapa kali Adit mengabsen nama laki-laki di kontakku. Tentu saja aku memberikan jawaban yang membuatnya belum puas. Kenyataanya memang orang yang disebutkan Adit memang sudah memiliki pasangan.
"Mas Anang?"
"Lo punya kontak Bapaknya Aurel?" lanjutnya heran.
Aku jadi tertawa dengan perkataanya. "Mas Anang itu division head di kantor gue. Bukan penyanyi Jodohku," terangku ke Adit.
Adit dan Gya tergelak. Kalau kami sudah berkumpul memang seperti ini. Diisi dengan tawa dan canda. Jarang sekali membicarakan hal serius. Kalaupun serius pasti di balut juga dengan candaan. Mungkin pertemanan kami bertahan karena memang kami sefrekuensi. Receh people. Setelah mengabsen sampai kontak berinisial Z. Adit menyerah menurutnya tidak ada yang potensial.
"Terus gimana wall climbing lo? Disana juga gaada yang bisa di prospek apa?" Tanya Gya kepadaku.
"Gak ada. Salah tempat kayanya gue."
Terhitung aku memang sudah empat kali mencoba kegiatan baru dengan melakukan kegiatan olahraga wall climbing yang ada di salah satu mall di daerah Kuningan. Tujuanku memang salah. Dari awal tujuanku memang untuk mencari pangsa pasar baru yang kedua untuk kesehatan. Oke yang kedua alasan klasik.
"Cari kegiatan lain aja," saran Gya.
"Iya, udah kepikiran sih ini."
"Apa?" tanya mereka kompak.
"Panahan," jawabku singkat dan percaya diri.
Sekarang mereka tertawa geli mendengar perkataanku.
"Please lah cuy, yang normal-normal aja," kata Adit disela tawanya.
"Kemarin gue nonton olimpiade, terus ngerasa kok keren banget sih atlet panahan. Bisa memanah dengan tepat begitu. Gue jadi interested banget nih," kataku memberi penjelasan.
"Terus, lo halu ketemu dan kenalan sama cowok ganteng yang bisa memanah dengan tepat gitu? Tanya Gya disela tawanya. Mereka masih saja menertawai pilihanku.
"Oh pasti, tentu saja." Kulihat Gya menaikan sebelah alisnya dan menahan tawa.
"Tentu saja dong, gue berharap ketemu cowok ganteng yang bisa memanah. Bukan panah biasa tapi panah asmara."
Mereka berdua tertawa kencang sampai beberapa pengunjung restoran melihat ke arah kami. Gya sampai keluar air mata menertawai perkataanku.
"Ampuuuuun Dinar. Maneh teh kok bodor pisan*. Cewek nyenengin kaya gini kok bisa jomblo lama ya Dit?" tanya Gya.
"Lo ikut aja ya Gy, temenin gue. Sekalian bantuin seleksi nanti," kataku meminta, seperti ini adalah persoalan mudah dimana para lelaki tampan akan unjuk kebolehan dalam memanah untuk membuatku terkesima.
"Bisa diatur itu mah. Kali ini gue mau ikut ah Dit. Mau bantuin kasih penilaian nanti siapa yang paling jago memanah hatinya Dinar," jelas Gya.
"Terserah kalian berdua deh. Gue nunggu cerita aja. Mungkin emang nasib gue temenan sama dua cewek bodor macam kalian."
"Udah yuk balik. Bayarin dong Gy," pintaku.
"Bisa gitu ya. Gue yang pengangguran gue yang traktir."
"Lo boleh pengangguran Gy, tapi lo cocok se-gank sama Rafathar," kata Adit.
Makanan kami memang sudah habis dari setengah jam yang lalu. Aku sengaja meminta Gya yang bayar. Lumayan makan gratis. Untuk Gya membayar makanan kami mungkin hanya hal receh baginya. Gya ini anak sultan dan ia bukan pengangguran sepenuhnya. Ia ikut dalam bisnis clothing line milik kakaknya. Lagipula ia juga masih diberikan uang jajan dari ayahnya yang lebih besar dari gajiku sebulan. Lucky People memang si Gya.
Setelah urusan billing selesai kami pun bersiap untuk pulang dan berjalan keparkiran. Langkah Adit dan Gya sangat lebar jadi mereka beberapa langkah didepanku. Aku yang kekenyangan juga kewalahan karena membantu Gya membawa barang belanjaannya yang banyak.
Gya memang benar-benar cocok jadi temannya Rafathar. Status boleh pengangguran tapi beberapa paper bag yang sedang ku jinjing bermerek Dior, Zara Home dan Kenzo. Beli sprei segala dia beratkan jadinya.
"Nar, lama banget jalannya," ucap Adit.
"Ya sabar dong. Berat ini, lo berdua kayak mau ambil gaji semangat bener jalannya." jawabku merajuk.
"Yaaaaah, Gy yang kaya gini mau ikut panahan. Bawa paper bag aja beban buat dia," kata adit sengja sedikit berteriak agar aku bisa mendengarnya.
Sialan Adit.
*) maneh teh kok bodor pisan = lo kok kocak banget (bahasa sunda)
___***___
A/N :
Dinar masih usaha banget nih biar gak jomblo. Selalu, terima kasih ya yang masih mau baca. Part-part ini masih pemanasan nih belum masuk konflik.
Happy Weekend yuhuuuuuuu.
Stay healthy.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Mom Is My Rival
ChickLitPunya ibu yang tak terlihat menua = tekanan batin. Mungkin itu rumus yang tepat untukku. Bayangkan saja di usianya yang sudah empat puluh lima tahun, Mami punya body goals perempuan milineal. Perut rata, tubuh proposional, kulit yang masih kencang d...