Niat untuk tetap pergi ke Jogja rasanya sudah bulat. Aku memang harus pergi bertemu Eyang. Karena aku membutuhkan biaya. Hal baik yang kuterima belakangan ini yaitu notifikasi email kalau aku bisa diterima melanjutkan studi di UTS, Australia.
Ini benar-benar seperti mimpi. Apa yang telah aku persiapkan selama delapan bulan lalu nyatanya membuahkan hasil. Setya pun merasakan kebahagian yang sama denganku. Awal mula aku bisa apply untuk lanjut studi disana karena Setya, teman kuliahku.
Pertemuanku dengan Setya saat acara pernikahan teman kami membawa kami membicarakan pendidikan. Setya, bercerita dia memang punya rencana lanjut studi di Sydney. Apalagi aku dan Setya punya mintat yang sama di bidang Visual Design. Mendengar hal itu aku sangat tertarik untuk ikutan. Karena dari dulu aku memang punya keinginan untuk studi yang jauh seperti Tasya sepupuku misalnya.
Semuanya aku persiapkan dengan mengikuti arahan dari Setya. Tentu saja tidak mudah. Untuk persiapannya saja butuh banyak biaya, karena untuk pemberkasan dan segala persyaratan yang harus aku penuhi pasti berkorban materi. Aku dan Setya menggunakan bantuan agency pendidikan sebagai penghubung agar prosesnya lebih mudah.
Delapan bulan lalu aku gambling karena tahu kemungkinan mendapat izin dari Mami hanya lima puluh persen. Jangankan di luar negeri. Diluar kota saja ditolak oleh Mami. Dulu saat mulai kuliah sarjana aku ingin sekali kuliah di Jogja. Apalagi akan dekat dengan Eyang pikirku, seharusnya Mami tidak perlu khawatir. Tetapi aku kalah.
Kalau keadaanku dengan Mami tidak dalam keadaan seperti ini pasti hatiku juga sedang resah karena harus meninggalkan Mami dan mementingkan izinya. Tetapi, keputusanku sudah bulat. Memang lebih baik aku pergi saja tidak perlu mundur. Sayang juga untuk semua yang sudah aku usahakan delapan bulan terakhir.
Sekarang masalahnya adalah setelah diterima aku juga harus menunjukan sponsorship dari pihak yang ingin menjamin kehidupanku disana begitu juga denan biaya kuliah. Ini termasuk tahap terakhir bersamaan dengan pembuatan visa pelajar. Aku butuh banyak biaya. Satu-satunya hal yang membuatku bisa mundur yaitu terkait biayanya. Kalau Mami tidak bisa support biaya, mungkin Eyang bisa.
Aku sudah membicarakan ini dengan Tante Diana adik Mami, beliau bilang kalau memang tidak ada jalan Tante bisa usahakan membantu, tetapi tidak bisa maksimal. Tante Diana sangat mendukung pendidikanku. Beliau juga berpikir, sayang jika tidak diteruskan.
"Dinar, Mami nggak izinin kamu ke Jogja. Kamu gak boleh pergi," larang Mami setelah tahu aku ingin pergi ke Jogja.
"Aku harus kesana. Apa salahnya aku datang ke rumah Eyangku sendiri," jawabku.
"Dinar, ini masalah kita. Kamu gak perlu ceritakan ini ke Eyang."
Mami pasti menyangka kalau tujuanku ke Jogja terkait masalah kami. Tetapi memang benar sih maksudku sekalian saja aku ceritakan. Selain minta dukungan Eyang kali aja Mami berubah pilihan. Aku masuk lagi ke kamar dan mengambil berkas yang yang sudah kusiapkan. Aku juga menunjukan email pemberitahuan bahwa aku telah diterima studi ke Mami.
"Aku butuh biaya Mi. Aku sadar ini biayanya besar. Mungkin Eyang bisa bantu."
"Memang nya Mami izinin?" tanya Mami sinis.
"Mi, aku pergi buat sekolah. Bukan untuk senang-senang gak jelas."
"Kamu gak perlu kabur sejauh itu Dinar." ucap Mami emosi bahkan Mami menggebrak meja.
"Aku kabur juga untuk sekolah Mi. Bukan pergi begitu aja," jawabku berusa tidak terpancing.
"Mami gak izinin. Kamu tetap disini. Nggak begini caranya selesaikan masalah kita kamu jangan kayak anak kecil dong Dinar."
"Kalau kamu mau lanjut sekolah banyak universitas disini."
"Aku udah siapkan ini semua Mi. Kesempatan ini aku dapat juga dengan usaha nggak dateng begitu aja tolong Mami hargai."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Mom Is My Rival
Literatura FemininaPunya ibu yang tak terlihat menua = tekanan batin. Mungkin itu rumus yang tepat untukku. Bayangkan saja di usianya yang sudah empat puluh lima tahun, Mami punya body goals perempuan milineal. Perut rata, tubuh proposional, kulit yang masih kencang d...