Mungkin aku harus bersyukur mendengar bisik toilet a.k.a gosip toilet antar Resika dan Andini. Aku bisa lebih mengurangi perasaanku ke Zami. Bahkan perlahan aku mulai mengurangi intensitas berdua dengannya. Walaupun kadang Zami tak terima dan masih saja berusaha untuk berkomunikasi atau semacamnya lah denganku.
Hari ini aku sangat lelah sebenarnya. Bahkan tadi di kantor aku sudah berniat absen ikut zumba di Fit Studio. Tapi mendekati jam pulang, Zami sudah mengirimkan pesan yang mengabarkan dia akan mengantarku ke Fit Studio. Sudah pasti aku menjawab dengan mengatakan lelah, ingin langsung pulang saja dan sebalnya ditolak.
Dia justru memaksa untuk makan di Pejaten Village. Ini Jum'at malam, biasanya di peringati sebagai hari kemerdekaan para cungpret alias kacung kampret. Terlalu sayang jika dilewatkan hanya untuk dihabiskan di rumah saja.
"Besok kita running yuk Nar, gue jemput deh."
Duh alasan apa ya. Kalau aku jujur menjawab malas, pasti nanti Zami merespon dengan memberikan motivasi kesehatan.
"Yah, kalau besok gue gak bisa Mas. Ada janji pagi sama teman."
"Siapa?"
"Gya." Maaf Gya, gue harus membawa nama lo, ujarku dalam hati.
"Kalau malamnya gimana? Ada janji gak?"
Gak ada janji sih. Cuma kemungkinan pergi sama Gya bisa sampai malam. Ini caraku lagi untuk menjaga jarak.
"Kok lama? Mau ngapain sih Nar?"
"Mau temenin Gya ke Bogor. Dia ada urusan buat konveksi clothing line-nya." Untuk yang ini juga berbohong.
"Gya, yang mana sih orangnya? Yang sering story bareng lo bukan?"
"Iya yang itu." Tanpa memberikan ciri aku tahu yang dimaksud Zami memang Gya. Siapa lagi yang sering menjadi story di akun media sosialku. Kalau nggak Gya, Adit ya Anggi. Kalau Anggi, Zami pasti sudah kenal.
"Habis ini nonton dulu aja, gimana?" Zami terlihat membuka aplikasi untuk membooking tiket nonton.
"Mas, gue ngerasa capek banget hari ini. Kita pulang aja ya. Lain kali aja, gimana?"
Zami pun memberikan persetujuan tanpa ada tarik ulur. Buang waktu untuk orang yang tidak pasti, itu yang Adit katakan kepadaku. Lebih baik aku rebahan kan di rumah. Daripada harus menonton film dengan tak bersemangat.
"Yuk! Kita balik sekarang aja," ajakku ke Zami. Padahal waktu juga masih menunjukan pukul delapan malam. Banci saja belum keluar, kalau kata Adit.
Kami pun segera angkat kaki dari restaurant dan menyelesaikan pembayaran.
"Nar sebentar, gue ke toilet dulu ya. Tunggu disini aja ya Nar." Aku memberi anggukan dan menuruti permintaan Zami untuk menunggunya di bangku yang disediakan pihak mall.
Malam ini mall sangat ramai pengunjung. Ini yang aku tidak suka. Berada dikeramaian seperti ini kadang membuatku pusing. Banyak orang lalu- lalang sambil menenteng tas belanjaan. Ada pasangan yang bergandengan. Ada keluarga kecil yang terlihat bahagia dengan formasi Ibu dan Ayah yang menggendong anaknya. Ada juga pengasuh yang mengejar anak kecil yang berlari kesana kemari.
Dan ada Adit. Sedang apa dia disini? Ya, tidak mungkin sedang jogging sih. Aku terkejut melihat siapa yang ada di samping Adit. Itu Mami. Kenapa mereka bisa berdua? Meskipun posisinya hanya dari samping, aku sangat yakin kalau itu Mami yang sedang bersama Adit. Apa yang aku lihat sekarang membuat suasana hatiku tambah tidak karuan.
Haruskah aku kesana dan memergoki mereka? Pegal sekali hati rasanya. Adit terlihat masih menggunakan setelan kerja yang dibalut oleh jacket. Hari Jum'at seperti ini biasanya dia memakai batik. Apa mereka janjian sebelumnya untuk bertemu disini?
Astaga aku pening sekali."Nar, yuk udah" kedatangan Zami membuatku terkejut. Aku langsung menarik Zami agar kami bisa membelakangi Adit dan Mami. Gawat, kalau Mami melihatku disini dengan Zami. Karena, yang ada di rumah nanti justru aku yang di konfrontansi.
"Kenapa Nar, kok panik gitu?"
"Oh, nggak kok. Disana ada orang kantor," alasanku.
Sejak dari awal sepertinya Zami tidak ingin kedekatan kami banyak di ketahui banyak orang. Jadi kupikir, alasan tadi sangat tepat. Dan benar saja Zami langsung terdiam tak berkutik.
Bisa aku pastikan Adit dan Mami tidak akan menyadari kehadiranku di tempat yang sama. Zami mengantarku pulang dan untuk kali ini aku memintanya untuk mengantar sampai di depan rumah. Biasanya aku hanya mengizinkan dia mengantar sampai depan komplek perumahan. Mami juga sekarang ada di Mall tidak di rumah, jadi keadaanya aman.
"Thanks ya Mas. Gue turun ya. Hati-hati di jalan. "
Zami hanya memberikan anggukan dan senyum tipis. Dia terlihat tidak nyaman. Aku bergegas turun dan masuk ke dalam rumah. Sesampainya di kamar aku langsung berbaring di my love alias kasurku tercinta. Pikiranku menjadi ruwet. Sikap Zami tadi apakah karena dia takut jika kejadiannya benar ada teman kantor kami yang melihat. Apa segitu tidak maunya dia kalau kedekatan kami banyak orang yang tahu.
Apalagi tentang Adit. Astaga Adit, kenapa sih dengannya? Kalau bisa aku pilihkan lebih baik dia bersama Anetta anak baru netas daripada sama Mami.
Dan Mami lebih astaga lagi. Kenapa harus Adit. Masa selera Mami harus Adit sih. Aku yakin Mami tahu jika aku akan menentang habis-habisan hubungannya dengan Adit. Apa Mami tidak malu? Salah apa mereka berdua tidak malu? Bahkan aku dan Adit bersekolah di tempat yang sama. Tumbuh bersama. Apa setelah Adit dewasa Mami melihatnya berbeda?
Kenapa Adit tidak dianggap anak saja. Apa Adit berani menggoda Mami lalu Mami terpancing oleh buaya jelek macam Adit. Aku ketulah sepertinya. Masa Ibuku salah satu mangsanya Adit. Jelas aku adalah orang yang paling utama menentang kalau mereka punya hubungan. Lihat saja Adit aku tidak akan tinggal diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Mom Is My Rival
ChickLitPunya ibu yang tak terlihat menua = tekanan batin. Mungkin itu rumus yang tepat untukku. Bayangkan saja di usianya yang sudah empat puluh lima tahun, Mami punya body goals perempuan milineal. Perut rata, tubuh proposional, kulit yang masih kencang d...