"Dinaaaaar bangun dong!!! ini udah jam sebelas siang Dinaaar," suara Mami sambil menggoncang tubuhku.
"Mi, ini hari Sabtu. Karyawan teladan kaya aku butuh hibernasi Mi," kataku sambil mengeratkan pelukan ke guling.
"Emangnya kamu beruang? Butuh hibernasi? Cepet bangun, atau Mami matiin listriknya biar kamu kepanasan," ancam Mami.
Tidak tanggung-tanggung yang diancamnya matikan listrik bukan sekedar matikan AC. Mungkin Mami tahu kalau hanya matikan AC aku bisa bangun beberapa detik dan menyalakannya lagi. Sudah pasti lanjut tidur lagi.
Dengan berat hati aku harus meninggalkan my love-si kasur tercinta. Dengan wajah yang masih mengantuk aku langsung ambil air putih di dapur dan menenggaknya tentu saja mataku masih terpejam sampai aku ke dapur. Ini hidden talent yang kumiliki.
"Kalau minum ya duduk, hebat banget ya kamu masih merem gitu tahu gelas ada dimana."
"Bagus, gak salah ambil air. kalau ambil air panas bisa melepuh tuh bibir," lanjut Mami.
Mami ini penampilannya boleh muda. Kami boleh terlihat seumuran. Tetapi ciri khasnya sama seperti ibu-ibu pada umumnya. Bawel, rempong dan heboh.
Setelah air habis, aku duduk di meja makan tepat dihadapan Mami. Ku buka kelopak mata dan yang kulihat seorang bidadari sedang mengupas apel merah. Bidadari seperti ibu perinya Lala sinetronnya Marshanda yang aku tonton saat masih sekolah dasar.
"Mandi dong Dinar," perintah Mami.
Tuhkan adalagi perintahnya padahal aku baru duduk beberapa detik.
"Nanti dong Mami," kataku sambil mencomot apel yang sudah dikupas.
"Kamu tuh, kalau libur ya manfaatin buat olahraga, lari gitu keliling komplek aja kan bisa. Mami udah lari tiga kali putaran. Udah beberes rumah, udah masak. Kamu kok masih tidur."
Mami ini termasuk golongan orang sangat mencintai kesehatan dan tentu saja olahraga. Setiap hari ada saja olahraga yang dilakukannya. Bisa lari, yoga, workout lah pokoknya.
"Mi, aku butuh banyak energi, ya tidur dong kemahiranku."
"Orang lain mah bangun tidur sarapan, ini kok makan siang,"
"Mami kok masih dirumah? Hari ini gak ada yang kawinan?" tanyaku mengalihkan topik.
"Ada, tapi malam acaranya. Nanti agak siang Mami ke venuenya."
"Kamu tuh ya, mandi terus dandan gitu. Keluar cari kegiatan, kesibukan."
"Yaampun kaya aku pengangguran aja,"sewotku.
"Ya bukan gitu. Pulang kerja ya tidur. Weekend tidur lagi. Gimana kamu mau cari jodoh."
"Cari duit ajalah, nanti aja cari jodohnya."
"Mamikan udah tua, mau lihat kamu nikah."
"Yakin udah tua?" ejekku.
"He...he ya enggak sih," jawab Mami. Tuhkan beliau menolak tua.
Mami hanya memperhatikan gerakanku yang sekarang sudah mengambil piring, menyendok nasi dan lauk pauk yang ada di meja makan.
"Ikut Mami aja ya sore nanti. Siapa tahu dikawinan orang kamu bisa ketemu jodoh."
"Ish, males ah Mi," kataku sambil mengunyah.
"Ya daripada kamu diem gini dirumah,"
"Siapa bilang. Nanti malem aku mau nge-date sama Adit."
"Kalian pacaran? Kok bisa? Seriusan?" tanya Mami kepo.
"Nggak sih," jawabku tertawa.
"Adit baru putus. Lagi galau dia. Makanya aku ajak aja nonton. Mami tahu gak Adit sedih banget abis putus. Kata tante Lana, Adit suka ngomong sendiri jadinya," kataku hiperbolis.
"Ya ampun Nar, kasihan banget. Yaudah kamu temenin ajalah, masih muda si Adit. Kasihan kalau kena mental gitu."
Aku terbahak mendengar ucapan Mami. Padahal untuk Adit yang suka bicara sendiri itu bohong. Adit memang baru putus tetapi tidak sampai kena mental yang Mami maksud. Habis sudah nasi di piringku aku pun kembali menenggak dua gelas air putih.
"Mami mau ngapain? Kok ngikutin? Aku mau mandi."
"Siapa yang ikutin Ge-Er," Jawab Mami dengan bahasa gahooolnya.
"Lah terus.." jawabku ingin membalas. Tetapi tidak jadi karena kami sekarang justru sedang memperhatikan ke arah tetangga sebrang. Karin anak tetanggaku terlihat menaiki mobil yang menjemputnya.
"Mami belum ngomong ya ke kamu, kalu Karin minggu depan di lamar sama calonnya."
"Ya biarin aja. Gak masalah dong."
"Karin itu baru lulus kuliah Nar, kemarin juga baru wisuda. Kamu kapan?"
Tuhkan bahas ini lagi. Lagi-lagi masalah jodoh.
"Calonnya itu Managernya ditempat dia magang skripsi kemarin. Udah settle ya pantes aja keluarganya terima. Padahal anaknya baru lulus kuliah."
"Dikantor kamu pasti banyak laki-laki kan? kenapa gak di prospek? kamu kan cantik." Kata mami sambil mengusap rambutku namun aku jadi geregetan. Apa aku akan menjadi malin kundang jika berteriak kalau Mami lebih cantik.
"Mami mau mantu yang gimana sih?" tanyaku iseng.
"Yang sayang sama kamu, bertanggung jawab, taat ibadah, perhatian, rajin olahraga, mau hidup sehat, settle, menyenangkan, keren, gak cupu dan kalau bisa ya yang ganteng gitu loh. Biar cucu Mami cantik dan ganteng."
Aku sangsi sepertinya itu kriteria laki-laki idaman Mami untuk hidupnya yang ingin beliau implementasikan padaku.
"Apa mantu Mami harus instruktur fitness yang kaya raya dan aktif di masjid?" sindirku malas.
"Ih kamu ya, tadi nanya dijawab malah gitu." ucap Mami kesal sambil menepuk lenganku.
"Lagian Mami kebanyakan kriteria. Susahlah kalau mau yang begitu. Daripada minta mantu kenapa sih gak minta pulsa aja? Jadinya kan Mami minta pulsa," ucapku menggoda karena melihat wajah kesal Mami mendengarnya.
"Emangnya Mami modus penipuan dari SMS," jawabnya sewot.
"Daripada minta mantu, kalo cucunya duluan yang aku kasih mau?" godaku lagi sambil berlari kabur.
"Dinaaaaaaar!!! AWAS YA KALAU CUCUNYA DULUAN. BLACKLIST JADI ANAK. MAMI MASUKIN PESANTREN YA KAMU!"
___***___
Kalo kalian ada yang ditanya gitu bisa ikutin jawaban Dinar nih hahahaa. Sejauh ini sih jawaban itu aman yaaaak. Tapi liat dulu siapa yang nanya, kalau Maminya Dinar sih masih aman ya emosinya hahahaa. Canda deng 😂
KAMU SEDANG MEMBACA
My Mom Is My Rival
ChickLitPunya ibu yang tak terlihat menua = tekanan batin. Mungkin itu rumus yang tepat untukku. Bayangkan saja di usianya yang sudah empat puluh lima tahun, Mami punya body goals perempuan milineal. Perut rata, tubuh proposional, kulit yang masih kencang d...