Aku keluar kamar untuk mengambil minum. Gerakan tutup mulutku masih berlangsung. Selama ini aku makan dengan memesan makanan online.
"Bisa kita bicara," ajak Mami. Mata Mami terlihat sembab. Pasti ini sangat memusingkan untuk Mami. Kami pun duduk berhadapan.
"Hubungi Eyang kamu, bilang sama beliau gak perlu transfer untuk biaya kuliah kamu."
"Ini rekening kamu. Sekarang saya serahkan ke kamu. Kamu yang harus atur sendiri uang di dalam sini."
"Uang Papi kamu masih bisa untuk biaya pendidikan kamu. Ini saya tambahin juga untuk keperluan kamu."
"Kamu harus tahu juga, kalau hidup kamu sekarang tidak semuanya dari uang Papi kamu. Uang saya memang gak sebanyak uang Papi kamu dan keluarganya. Saya juga usaha buat mencukupi kamu. Semoga uang ini cukup buat kamu kedepannya."
"Kalau kamu butuh uang disana. Kamu harus hubungi saya terlebih dahulu. Jangan Eyang kamu."
Aku tahu pasti Eyang sudah menghubungi Mami. Sesuai rencanaku, tapi kenapa aku sakit mendengar ucapan Mami yang seperti itu. Ternyata Mami sampai bersikap kaku seperti ini. Aku benar-benar sudah menghancurkan hatinya.
"Mana dokumen yang harus saya tandatangani. Cepat ambil," perintah Mami. Aku mengambilnya ke kamar dengan berat hati dan menyerahkannya ke Mami. Mami menandatangani beberapa lembar berkas. Selesai. Apa yang aku butuhkan sudah aku dapat.
"Saya sudah kasih apa yang kamu mau. Sekarang kamu juga harus kasih apa yang saya mau."
Ucapan mami seperti gong yang di pukul tepat di depan wajahku. Aku kalah.
"Iya, Mami boleh melakukan apa yang Mami mau. Mami boleh menikah." ucapku dengan air mata yang menggenang dengan menatap matanya."
"Jangan pernah kamu ngadu masalah uang lagi sama Eyang kamu. Saya gak mau di cap ibu yang egois karena tahan cita-cita kamu. Sekeras apapun alasan saya, kamu akan tetap pergi kan? Jadi silahkan."
"Kamu malu kan jadi anak saya. Sekarang kamu bebas. Terserah kamu mau melakukan apa saja. Pesan saya, jangan lakukan hal bodoh yang merugikan diri kamu."
"Kamu saya sayang dan saya rawat. Bodoh kalau kamu hancurkan diri kamu sendiri."
"Kita impas. Sama-sama dapat apa yang kita mau," ucapku.
"Aku cuma bisa berdoa, semoga Mami bahagia dengan pilihan Mami dan semoga dia bisa jadi pasangan yang temani Mami dimasa tua nanti."
Aku menarik berkas dimeja dan masuk ke kamar. Aku bisa mendengar Mami menangis diluar. Aku pun sama aku benar-benar telah membuat Mami sakit hati. Nasi telah jadi bubur. Aku harus tetap melanjutkan pilihanku begitu juga Mami.
___***___
Aku memberitahu Gya apa rencanaku ke depan. Tentu saja dia senang dengan kabar ini. Untuk Adit, entahlah sejak pertengkaran kami malam itu aku memblokir semua kontaknya.
Aku juga menceritakan pertengkaranku dengan Adit ke Gya. Gya hanya bisa mendengarkan,bdia juga takut salah langkah. Dia ada dipihak yang netral.
Masih ada waktu dua bulan lagi sampai aku berangkat ke Sydney dan memulai semuanya. Setya bahkan sudah sangat siap. Aku juga sudah mulai mempersiapkan diri dan keperluanku untuk disana.
Tante Diana juga sangat membantu. Tante membantuku mempersiapkan semuanya terlebih adiknya Tasya, Danu juga sedang studi disana. Tante bersikap sebagai pengganti Mami yang membantuku bersiap untuk memulai hidup di tempat yang baru.
Untuk info apa saja yang harus aku siapkan itu sudah aman. Danu dan Setya mengingatkan aku jangan sampai seperti orang yang pindah dunia. Barang penting saja yang dibawa.
Setelah kejadian tandatangan Mami seperti menghindariku. Mami baru pulang kerja saat larut malam. Bahkan untuk sarapan pagi saja kami tidak bertemu. Aku sudah tidak pergi lagi ke Fit Studio. Jadi intensitas bertemu Mami semakin sedikit.
Sebenarnya aku ingin sekali bicara lagi dengan Mami. Tapi, Mami sendiri terlihat enggan. Kami masih ada dalam keadaan sama-sama emosi.
Entahlah, aku salah atau tidak ambil pilihan ini. Karena sekarang aku justru menghabiskan sisa waktuku sebelum berangkat untuk tinggal di Jogja dengan Eyang. Sudah tidak adalagi larangan dari Mami.
Pada akhirnya Mami benar. Aku tetap pergi walaupun Mami melarang. Aku juga sudah mengajukan pengunduran diri. Syukurnya, justru dipercepat tanpa satu bulan pemberitahuan. Anggi sangat sedih harus berpisah denganku tetapi dia juga mendukung keputusanku.
Dan untuk Zamzami, selama itu pula aku juga tidak pernah lagi berbicara dengannya. Selama beberapa hari terakhirku di kantor aku tidak menghindarinya. Biar saja, yang seharusnya malu itu dia bukan aku.
Aku tidak tahu bagaimana kelanjutan hubungan Mami dengannya. Aku tidak peduli lagi. Toh, Mami sudah ambil keputusan. Terserah mereka berdua.
Di Jogja, aku sempat healing pergi berlibur ke pantai sekitaran Gunung Kidul, lalu daerah wisata di Gunung Merapi dan menghabiskan malam di kota untuk mencoba banyak kulinernya.
Disini Eyang juga mengajarkanku untuk masak. Masakan yang mudah di buat untuk keadaan darurat. Sebelumnya, aku tidak bisa memasak. Masak air bisa deh. Tetapi yang lainnya nihil. Jika menggoreng telur saja aku butuh jarak setengah meter takut terciprat minyak. Disini aku dilatih agar tidak takut dengan minyak panas. Teknik menggoreng yang aman. Lalu mamasak nasi dengan benar.
Eyang sempat menepuk dahinya saat tahu aku tidak bisa masak sama sekali. Mami yang masak jika di rumah. Untuk keperluan cuci, setrika dan bersih-bersih ada Mbok Tati yang setiap hari datang.
Nasi yang aku masak untuk ujian dengan Eyang dihari pertama terlalu lembek teksturnya mirip bubur. Dihari kedua justru kekerasan susah dikunyah. Hari ketiga aman. Lalu aku juga diajarkan caranya mencuci walaupun itu di mesin. Kalau ini aman. Aku bisa, yang aku tidak bisa justru menggunakan pengeringnya karena mesin cuci Eyang menggunakan yang dua tabung. Aku panik saat mesin cuci mengeluarkan bunyi yang kencang dan berguncang keras. Kata Eyang karena aku salah dalam menata baju basah di tabung pengering. Ternyata pekerjaan rumah juga ada teknik dan skilnya.
"Kalau nanti disana Nduk, ya harus diatur jangan nanti kamu lebih sering laundry. Pasti ada mesin cuci di apartemen ya kamu gunakan saja."
"Tapi, kalau kamu capek ya laundry saja. Dulu juga Eyang khawatir Papi kamu karena sebelumnya tidak pernah jauh dari Eyang. Ternyata Papi kamu bisa mandiri. Malah betah sampai kerja disana. Kalau dulu gak di paksa pulang juga Papi kamu pasti masih disana."
"Kalau Papi gak balik ke Indonesia, gak bakal ketemu Mami ya Eyang,"
"Iya, Eyang gak akan punya cucu cantik kayak kamu," Ucap Eyang lembut.
"Setahu Eyang, Papi kamu tuh punya hubungan percintaan sama Mami kamu aja Nduk,"
"Mami juga bilang gitu. Mami kan baru banget netas ya Eyang terus di nikahin."
"Hush, netas emangnya Mami kamu ayam," jawab Eyang yang membuat kami tertawa bersama.
"Eyang jaga kesehatan ya disini. Nanti Dinar pasti akan lebih sering hubungi Eyang."
"Yang Rajin ya sayang belajarnya disana. Dulu Eyang bangga banget Papi kamu bisa lulus. Kamu juga harus usaha agar seperti itu biar Mami sama Eyang bangga dengan keberhasilan kamu."
Hatiku tersentak dengan ucapan Eyang. Apa Mami akan bangga jika aku bisa lulus darisana? Aku butuh menjernihkan pikiran untuk semua yang terkait tentang Mami.
___***___
Mana nih yang minta update lagi??
Biarin deh guys terserah Tante Agitha .
Susah, mau gimana kalau udah falling in love mah gak ada lawan.
Maminya baru ini kepikiran nikah lagi, jadi begitu deh.
Cerita ini sebenernya tinggal update aja karena udah ada di draftku.
Kalo kalian ada komen dan kritik coba cuuuus diketik aja yak wkwkk
Maaciw
KAMU SEDANG MEMBACA
My Mom Is My Rival
ChickLitPunya ibu yang tak terlihat menua = tekanan batin. Mungkin itu rumus yang tepat untukku. Bayangkan saja di usianya yang sudah empat puluh lima tahun, Mami punya body goals perempuan milineal. Perut rata, tubuh proposional, kulit yang masih kencang d...