Bel rumah berbunyi, ada yang menekan bel di pintu pagar. Tandanya ada tamu datang. Aku yang sedang menyelesaikan finishing ilustrasi merchandise untuk kolaborasi dengan sebuah store alat kencantikan bergegas melihat siapa yang datang.
Itu Mami, Mami terlihat menunggu di depan pagar dibawah sinar yang terik sendirian. "Mami, kok mendadak gini datangnya?" Kalimat pertanyaan pertama yang aku ajukan.
"Iya, Mami tadi habis dari WO. Mau kesini deh."
"Kenapa gak telepon dulu Mi, nanti kalau aku ada di luar kan. Kasihan Mami udah jauh-jauh aku nya nggak ada," ucapku sambil membukakan pintu pagar yang menghalangi Mami.
"Iya Mami feeling aja kamu lagi di rumah."
Aku masuk ke dalam dengan diikuti Mami dari belakang. Seingatku, aku tidak pernah menarik kunci rumah ini dari Mami. Kalau Mami mau langsung masuk pun bisa. Menekan bel seperti itu rasanya seperti tamu.
"Nih Mami bawain buah. Kamu banyak kerja di rumah. Cemilin buah aja Nar yang sehat. Bisa kamu buat smooties, salad, atau ya makan langsung aja."
Aku menerima empat kantong berbagai buah-buahan."Mami boleh lihat isi kulkas kamu nggak?"
"Ya boleh aja. Bantuin sekalian Mi, masukin buahnya," ucapku sambil melempar canda. Mami mencuci buah yang beliau bawa lalu menyusunnya di dalam kullas.
"Sekarang cemilan kamu udah lebih baik ya. Biasanya banyak boba, snack msg. Ini Mami lihat banyak yang gluten free. Banyak sayuran juga."
"Iya, sesekali aku masih kok makan micin. Kalau yang sayuran aku kan harus stock Mi. Nggak mungkin setiap hari beli kan. Nggak sempat."
"Minta tolong Mbok Tati aja kalau belanja sayuran. Kok bisa kamu jadi suka yang gluten free gini?"
"Kebiasaan aja, dulu di Sydney aku belinya produk itu terus."
"Sydney buat hidup kamu lebih baik ya Dinar," ucap Mami sambil tersenyum yang entah apa artinya.
"Iya,"jawabku antusias.
"Disanakan aku jadi bisa survive. Mulai dari nyuci, strika, belanja kebutuhan sampai masak. Hal yang aku nggak lakuin disini lah Mi pokoknya."
"Mami seneng dengernya, kamu bisa tinggal sendiri. Mami khawatir saat itu kamu gak bisa adaptasi disana. Bahkan kamu aja paling nggak betah ke supermarket buat belanja."
"Tapi justru Mami nggak pernah dengar keluhan kamu disana. Saat itu Mami nunggu kamu hubungi Mami duluan, Mami mau dengar apa keluhan kamu, kamu culture shock atau nggak."
"Syukurnya kamu baik-baik aja."
"Hehe...aku memang nggak hubungin Mami. Saat itu kan suasannya lagi panas. Orang yang aku gangguin ya Tante sama Eyang. Setelah beberapa bulan, baru Tante Rosa."
"Kita banyak kehilangan waktu ya Nar." Aku diam saja mendengarkan ucapan Mami.
"Kamu bisa urus diri kamu sendiri, itu sudah lebih dari cukup untuk Mami."
"Kamu punya pekerjaan yang stabil, pendidikan yang bagus, Papi pasti bangga Nar sama kamu."
"Kalau Mami gimana? Senang nggak sama keadaanku sekarang?"
"Mami terlihat sedih dan langsung merengkuhku. Mami kangen Nar. Kangen banget."
"Duh Mami, jangan lebay gini deh. Aku malas ah, kalau sedih-sedihan nantinya." Jujur saja aku memang malas alias gengsi.
"Apapun yang terjadi sama hidup kita, Mami ini Ibu kamu. Mami sayang banget sama kamu dan Mami tahu kamu juga sayang sama Mami."
"Pasti," sahutku singkat.
"Kamu tahu Nar, kenapa Mami selalu berusaha punya pola hidup sehat?" Tanya Mami sambil mengurai rambutku lembut. Ini sering kami lakukan dulu, kalau Mami sedang di mode kepo alias saat Mami ingin mengajakku bicara jika aku terlihat sedih.
"Ya karena mau sehat aja."
"Bukan hanya itu alasannya. Kalau cuma untuk sehat aja, kita makan yang cukup juga udah bisa sehat."
"Mami berusaha untuk punya pola hidup sehat, karena Mami takut mati dan tinggalin kamu sendirian."
"Mi....," aku benar-benar baru tahu alasan ini.
"Papi kamu pergi secara mendadak, karena serangan jantung Nar. Dokter bilang saat itu pola hidup Papi bisa berpengaruh."
"Papi itu pekerja keras, workaholic, Papi hanya punya sedikit waktu istirahat dan makan seketemunya."
"Kalau mau disalahkan, Mami juga berperan Nar. Mami nggak urus Papi dengan baik. Mami nggak siapin makanan yang sehat saat itu. Mami takut, kalau itu juga terjadi sama Mami kamu nanti sama siapa?"
"Kamu itu poros hidup Mami Nar. Kamu itu hidup Mami."
Kami sama-sama terdiam. Apa yang pernah Tante Diana katakan padaku benar. Kalau semarah apapun aku ke Mami dan begitu sebaliknya, faktanya kami saling menyayangi.
"Maafin Dinar ya Mi, aku pernah anggap kasih sayang Mami ke aku hilang karena pertengkaran kita."
"Aku kecewa saat itu. Aku ngerasa Mami lebih pilih dia dibanding aku. Aku marah karena Mami nggak mau dengar ucapanku."
"Mami bukannya nggak suka kamu studi di Sydney. Mami nggak mau kamu jauh dari Mami, Dinar. Dari kecil kamu selalu sama Mami."
"Terus, kenapa akhirnya Mami izinin aku pergi?"
"Karena sekeras apapun Mami larang kamu tetap ingin pergi dan Mami sadar kalau kamu kesana ada tujuannya. Ada atau nggaknya pernikahan Mami, kamu pasti pergi."
"Mami kaget kamu punya keinginan yang sama dengan Papi, dari dulu Papi kamu udah punya cita-cita kalau kamu harus kuliah disana. Makanya dia kerja keras untuk itu. Dulu Mami nggak ngerti kenapa harus kerja keras dari kamu kecil, toh kuliah kamu masih lama. Papi masih punya waktu menabung sampai sepuluh tahun lagi."
"Ternyata, memang takdir nggak ada yang tahu ya Nar. Kalau dulu Papi kamu gak kerja keras, belum tentu kita bisa duduk disini sekarang. Mami nggak pernah punya pengalaman kerja, kalau untuk modal usaha aja nggak punya. Entah gimana kehidupan kita."
___***___
Ke cut dulu yaaaaa, part depan masih lanjutan isi hatinya Mami.
Maaciw ya yang udah nunggu Dinar.
Ditunggu komennya hahaaaa
KAMU SEDANG MEMBACA
My Mom Is My Rival
ChickLitPunya ibu yang tak terlihat menua = tekanan batin. Mungkin itu rumus yang tepat untukku. Bayangkan saja di usianya yang sudah empat puluh lima tahun, Mami punya body goals perempuan milineal. Perut rata, tubuh proposional, kulit yang masih kencang d...