Sports and Arts Week telah berakhir. Olivia dan Oliver menjalani hari-hari mereka seperti semula. Hanya saja, keduanya lebih dekat. Tiada hari tanpa bertukar kabar melalui pesan. Entah itu siang ataupun sore hari. Mungkin, dikarenakan mereka tak pernah berjumpa lagi di saat jam sekolah tengah berlangsung.
Olivia sendiri tidak menyangka bisa berteman dekat dengan Mantan Wakil Ketua OSIS itu. Seingat Olivia, pertama kali melihat sosok Oiver ialah ketika pemilihan Ketua OSIS-Wakil Ketua OSIS SMA Spacelight periode 2019-2020. Namun, hanya bisa menatapnya dari jauh. Lalu, tak sengaja melihat laki-laki itu berada di barisan siswa X Bahasa 4 dari tempat grup Paduan Suara-nya berada ketika upacara berlangsung. Dan, terakhir, ketika mengantarkan Falisha pergi ke koperasi OSIS.
Kini, Olivia tengah berbincang kembali bersama para sahabat-sahabatnya setelah beberapa hari terpaksa berkomunikasi secara virtual di tengah suasana kelas XII Bahasa 2 nampak sedikit tak kondusif saat mata pelajaran antropologi berlangsung.
"Lo udah selesai belom, Liv?" tanya Salma di sela-sela kegiatan tulis-menulisnya.
Olivia menoleh. "Napa?"
"Halah! Paling juga lo mau nyontek," cibir Nia memainkan pulpennya, duduk di seberang kanan bangku Olivia dan Nadine.
"Emang gue pikirin?" balas Salma dengan nada bertanya, menerima buku dari Olivia. "Avv, makasih, Liv!"
Olivia mengangguk. Ia berbalik menghadap papan tulis. Dari ambang pintu, gadis itu tak sengaja melihat sosok berjas almameter berwarna hitam-merah berjalan masuk ke dalam kelasnya sembari membawa selembar kertas dan terhenti di ambang pintu. "Oliver?" gumamnya.
Tok! Tok! Tok!
Semua orang yang berada di dalam ruangan itu menghentikan aktivitas mereka, termasuk sang guru berusia tiga puluh tahunan, menoleh ke arah sumber suara. Dan, para siswi bersorak kegirangan begitu mengetahui siapa sosok tersebut.
"Ya, Oliver? Ada apa?" tanya Guru Antropologi itu.
Oliver mengedarkan pandangannya sejenak, melirik ke arah para sahabatnya. "Kelas XII Bahasa 2?"
"Bener kok, Ver," sahut para siswi bersorak kegirangan ketika Oliver hendak berbalik arah, merasa jika dirinya salah memasuki kelas demi mengirimkan selembar kertas itu. Kecuali, Olivia dan teman-teman terdekatnya.
Olivia menggigit bibir, melirik ke arah ketiga temannya. Mampus gue!
"Tuh, Liv. Ada Oliver. Say hi atau gimana gitu, kek," goda Nia mencolek-colek bahunya dengan ekspresi menyebalkan.
"Apaan, sih?" Olivia memutar bola matanya. "Orang cuma partner doang."
"Ah, masa, sih?" sambung Salma di tengah ia menyelesaikan tugasnya.
"Ekhem! Ciyeee!!! Oliviaaa. Udah nemuin yang baru ceritanya, nih? Udah nemu penggantinya Devano, ya, lo?" tanya Nadine memainkan pulpennya.
"Gue udah move on dan gue cuma partneran doang. Temenan doang sama dia. Udah. Cuma itu aja." Olivia menyangkal sembari memerhatikan interaksi Oliver dan sang Guru Antropologi. Atau mungkin ... Sahabatan.
"Sayangnya, gue gak percaya sama lo, Olivia ..." kata Nadine tertawa kegirangan, puas bisa menjahili sahabatnya itu.
Bersamaan, Olivia mengedikkan bahu dan Oliver melangkah pergi dari kelas yang sering kali dipandang sebelah mata oleh para guru itu. Alhasil, kericuhan pun semakin bertambah. Para siswi mendesah kecewa dibuatnya. Berbeda dengan Olivia yang terlihat santai-santai saja.
"Tuh, kan ... Oliver jadi pergi," ucap Salma berpura-pura mengerucutkan bibirnya.
Olivia mengerutkan dahi. "Lah, dia kan emang gak sekelas sama kita. Trus, apa masalahnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Days With You [TERBIT]
Teen FictionINSPIRED BY A TRUE STORY "Napa, sih, kamu suka bikin gemes?" tanya Oliver mencubit pipi Olivia yang terlihat lebih tirus dari sebelumnya. "Cubit aja terosss, sampe molor," komentar Olivia mendengus kesal usai pipi terlepas dari cubitan Oliver lalu m...