Hari demi hari telah Olivia lewati. Akhirnya, tibalah di mana ia akan mengikuti ujian akhir semester. Terbiasa menjalani ujian tanpa masalah membuat pikiran dan hati tidak fokus mengerjakan soal saat ini. Olivia ingin sekali cepat-cepat pulang. Dua mata pelajaran—masing-masing berdurasi satu jam—terasa begitu lama.
Matanya terasa berat. Mulutnya sudah beberapa kali menguap. Beberapa kali digelengkannya kepala sebelum pandangan gadis itu menatap jam yang tertera di taskbar. Masih ada waktu empat puluh menit lagi. Jari-jari Olivia akhirnya kembali bergerak, sesekali menekan kursor agar jawaban terisi.
Detik demi detik. Menit demi menit. Akhirnya, selesai Olivia lalui. Gadis itu menyembunyikan kepala di balik lengan kiri, sehingga ia menghadap ke dinding, sambil menunggu soal ujian selanjutnya dibuka. Dadanya kini terasa benar-benar sesak. Setetes tirta meluncur dari sudut mata. Hatinya nyeri bak ada sebuah anak panah tertancap di sana. Semua begitu rumit. Penuh teka-teki. Olivia sangat bimbang dalam mengambil keputusan. Orang bilang, meninggalkan seseorang di awal terasa begitu berat dan sulit namun lega di akhir. Jika memilih menetap, maka akan sangat menyiksa diri.
"Olivia? Tugasnya sudah selesai?" tanya guru pengawas memegang samar punggung Olivia.
Pemilik nama mengangkat kepala, melemparkan pandangan pada sang guru. "Sudah, Pak. Tinggal nunggu mapel selanjutnya."
Guru itu tersenyum lembut kemudian berlalu, mengecek murid-murid lainnya.
***
Oliver menatap kosong layar laptop di depannya sambil menyangga kepala dengan tangan kanannya. Hembusan napas dikeluarkan secara kasar. Sekelebat peristiwa masa lalu muncul dalam pikiran membuat lelaki ini bimbang dalam mengambil keputusan. Tidak seperti biasanya. Jika menjadikan Olivia sebagai kekasih, Oliver takut mereka menjadi asing ketika putus. Jika menjadikan Olivia sebagai sahabat, ia sama sekali tak terlihat memperlakukan gadis itu seperti Welda dan Naura sejauh ini. Ia juga terlanjur menyukai Olivia saat pertemuan pertama mereka. Dan, di sisi lain, ia insecure karena merasa tidak pantas menjadi pasangan gadis keturunan Tionghoa itu. Di saat ia menghabiskan waktu untuk bermain game, Olivia merangkai kalimat menjadi sebuah novel. Walau nyatanya itu tidak seberapa dipermasalahkan oleh Olivia asal Oliver tidak bergadang. Toh, gadis itu sebenarnya sangat bangga pada Oliver karena bisa sesantai apapun dalam menghadapi masalah—kecuali yang satu ini tanpa sepengetahuan Olivia sendiri.
Oliver butuh Mada. Sahabatnya yang paling dekat. Sampai-sampai, Mada hapal bagaimana detailnya ketikan Oliver. Tangan lelaki itu terkepal, memukul pelan meja yang untungnya sama sekali tak menimbulkan suara—bisa-bisa berakhir mencuri perhatian dan mendapat teguran dari guru pengawas.
Gini amat fall in love.
Sebelum kembali berkutat dengan tugasnya lagi, Oliver mengusap kaasar wajahnya.
***
"Dev, lo kosong gak pulsek ini?" tanya Oliver kepada Devano sembari mencangklong tas.
Devano mengangkat sebelah alisnya. "Kosong, kenapa?"
"Hang out, kuyyy. Mumpung pulang pagi."
"Ke mana?"
"Taman kota?" usul Olivia sedikit ragu, takut jika Devano menolak.
"Gasss. Sekalian ada yang mau gue tanyain," balas Devano mengangguk-anggukkan kepala.
"Tumben. Pake komuk lo ceria lagi. Biasanya juga datar," cibir Olivia.
"Ini penting, tentang someone," kata Deovano menaik-turunkan alis.
Olivia tersenyum jahil. "Eciyeee. Lo lagi naksir ciwi, ya? Siapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Days With You [TERBIT]
Teen FictionINSPIRED BY A TRUE STORY "Napa, sih, kamu suka bikin gemes?" tanya Oliver mencubit pipi Olivia yang terlihat lebih tirus dari sebelumnya. "Cubit aja terosss, sampe molor," komentar Olivia mendengus kesal usai pipi terlepas dari cubitan Oliver lalu m...