"Dan, yah, pas kelas enam pun saya gak diikutin juga di dua cabor itu. Gerak jalan sama Bulutangkis," kata Olivia mengakhiri ceritanya, memandang jauh ke arah jendela ruang BK dengan tatapan kosong.
"Oh, itu berarti traumatis masa kecil. Nah, trus, apa yang kamu rasakan setelah itu?" tanya Bu Weni mendekatkan diri pada Olivia.
"Ke mana-mana itu ... Takut kalo lagi sendirian. Kayak, contoh, nih, misalnya. Pergi ke minimarket. Nah, pas mau beli itu liat pintunya aja udah takut. Padahal belum masuk, belum keluar dari mobil." Olivia menjelaskannya dengan lirih.
Kepalanya serasa ingin pecah saat ini, seperti vas bunga yang dilemparkan oleh tangan nakal manusia ke dinding dan benda yang terbuat dari tanah liat itu menjadi berubah menjadi berkeping-keping. Deru napasnya selalu terengah-engah ketika setiap kali ia melihat sekitar saat sedang berpergian kemanapun seorang diri. Tanpa seseorang di sampingnya. Dan, berbagai bayangan berisi kejadian-kejadian—mulai dari akibat kesalahan yang kemungkinan besar akan membuat dirinya malu setengah mati dan kejahatan dunia luar yang begitu kejam—selalu berputar cepat di kepalanya.
Ya, bagaimana tidak? Ia sudah mencoba periksa kepada seorang psikolog beberapa bulan yang lalu. Namun pada akhirnya, tak ada perubahan yang terjadi pada dirinya. Berapa kalipun Olivia sudah mencobanya, semuanya masih seperti biasa saja.
Bu Weni mengangguk-angguk paham. "Iya. Itu ... Anxiety. Ya, memang setiap orang punya kecemasan masing-masing. Tapi kalo kasusnya seperti ini, lebih baik segera dibawa ke psikolog."
"Dulu udah pernah dibawa Cece ke psikolog. Eh, maksudnya, psikolog-nya yang datang ke rumah," balas Olivia mengingat-ingat kejadian setahun yang lalu.
"Abis itu?" Bu Weni itu bertanya.
"Ya ... Disuruh cerita-cerita gitu." Olivia melanjutkan ceritanya. "Sampe akar-akarnya, hehehe. Gak ada satupun yang boleh ditutupin. Trus, kata psikolognya, itu ... Harus bersyukur. Doa detail."
"Oh, bersyukur itu harus! Kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan itu ... Harus senantiasa bersyukur biar nikmatnya bisa ditambah," jelas wanita paruh baya yang diprediksi berusia sekitar tiga puluh tahun itu.
Olivia terjengit mendengar dua hingga empat kata awal itu. Dan, berusaha menormalkan kembali ekspresinya dengan cara mengelus-elus dada.
"Dan, maksudnya doa detail itu gimana, ya" tanya Bu Weni tersebut mengerutkan dahi.
"Ya ... Kayak, pingin jadi anak sholeh-sholehah sama alasannya gitu. Misal, pingin membahagiakan orang tua di dunia akhirat. Kurang lebih gitu," terang Olivia memegangi dagunya. "Trus, melakukan berbagai aktivitas dan nyoba buat bersosialisasi. Karena, sering ngurung diri di kamar."
"Lalu, ada perubahan setelah itu?"
Mendengar pertanyaan Bu Weni, mata Olivia mengelilingi langit-langit ruang BK yang berwarna biru muda ini. "Nggak. Nggak ada. Kalo menurut saya, sih, nggak ada, Bu," jawabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Days With You [TERBIT]
Teen FictionINSPIRED BY A TRUE STORY "Napa, sih, kamu suka bikin gemes?" tanya Oliver mencubit pipi Olivia yang terlihat lebih tirus dari sebelumnya. "Cubit aja terosss, sampe molor," komentar Olivia mendengus kesal usai pipi terlepas dari cubitan Oliver lalu m...