Di rumah Welda, di gazebonya, Olivia menceritakan semua hal kepada Welda. Ia langsung meluncur ke rumah gadis itu tepat selepas rapat usai dan mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Untungnya, Welda tidak sedang sibuk dan ada di rumah.
"WHAT?" pekik Welda seketika mematung di tempat.
Olivia menaik-turunkan kepalanya. "Iya. Ciyus. Dua rius, deh."
"Keren banget lo, Liv. Gue suka gaya lo."
"Hahahaha, isok ae."
"Temenan og. Lagian, ribet amat, sih, Oliver. Heran gue." Welda menghela napas kasar setelah mendengar cerita Olivia. "Ehm, gimana, ya, jadiin temen, deh, minimal."
"Emang gue jadiin temen dan tinggalin hubungan ini," timpal Olivia meneguk jus jeruk yang disuguhkan asisten rumah tangga Welda padanya. "Bentar lagi, kan, gue ke Inggris, nih. So, di sana, gue mau nyibukkin diri gue. Kuliah, have fun, dan sebagainya," jelas Olivia membayangkan betapa indahnya rencana yang akan ia realisasikan dalam waktu dekat.
"Bagus itu, bagus. Tapi, tetep kabar-kabaran sama gue, ya, Liv."
"Iya, Wel."
"Kuliah di mana rencananya ntar?"
"London School of Economics and Political Science."
"Weehhh, mantap betulll. Berarti, udah gak galau, nih, pilih jurusan?" goda Welda mengingat curhatan Olivia seusai gadis itu berkonsultasi dengan Bu Weni.
"Gak ada tujuan, sih, lebih tepatnya. Abis gue bingung. Ya udah, biarin takdir yang nentuin. Gue juga udah usaha," terang Olivia mengedikkan bahu ringan.
Mendengar itu, Welda langsung menampakkan ekspresi datar. Bisa-bisanya Olivia seperti ini di saat Welda sendiri saja khawatir bagaimana ke depan—masuk sebuah universitas impian—walau sudah direncanakan secara matang. "Gue dukung apapun pilihan lo selagi positif," kata Welda dengan senyum terpaksa.
"Makasih banyak, lho, Wel," kata Olivia melengkungkan kedua bibirnya.
Welda mengiakan. "Iya, sama-sama. "
"Oh, iya. Lo sendiri sama Adnan gimana?"
"Dia sibuk sama karir bulu tangkisnya. So, gue juga ngambil keputusan yang sama kayak lo, fokus ke depan, kuliah, dan ngelakuin hal-hal positif."
"Air mata kita terlalu berharga buat cowok yang belum jadi pasangan sah kita."
***
"Dari mana aja lo? Kok baru pulang? Bukannya meeting udah selesai dari tadi?" Chalondra melemparkan pertanyaan bertubi-tubi pada Olivia yang baru saja datang—melepas helm dan turun dari motor.
"Kebiasaan, dah, ah." Olivia menghirup oksigen sejenak. "Ketemu sama Oliver, meeting di kantor, main ke rumah Welda."
"Ketemu sama Oliver? Bukannya lo ngehindar?"
Olivia sedikit berpikir. "Ada suatu hal yang harus gue ceritain sama lo, Ce."
"Kayaknya seru, nih."
Di kamar Olivia dengan berbagai aneka street-food—empat corndog mozzarella, tiga sosis bakar, satu bungkus batagor, beberapa cimol dan gorengan—di piring juga dua gelas cola sudah tersedia di meja beralaskan karpet berbulu. Tentu saja ini semua hasil campur tangan Chalondra. Katanya, tidak seru jika tidak ada makanan dan minuman ketika berbagi cerita. Dan, Olivia hanya menyetujui saja.
"Oke, ceritain semua," pinta perempuan itu.
Olivia mulai menceritakan kejadian ini untuk kedua kalinya. Tak ada yang kurang, tak ada yang lebih. Dan, tentu saja detail. Sembari menyimak cerita sang adik, Chalondra memasukkan satu gigitan corndog ke mulut dari satu tusukan sesekali menganggukkan kepala disertai tatapan yang begitu serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Days With You [TERBIT]
Teen FictionINSPIRED BY A TRUE STORY "Napa, sih, kamu suka bikin gemes?" tanya Oliver mencubit pipi Olivia yang terlihat lebih tirus dari sebelumnya. "Cubit aja terosss, sampe molor," komentar Olivia mendengus kesal usai pipi terlepas dari cubitan Oliver lalu m...