Dua hari telah berlalu. Olivia kembali mengikuti pelajaran KBM seperti biasa. Semua urusan mengenai novelnya yang hendak diterbitkan pihak sekolah telah ia selesaikan kemarin selama sehari penuh. Termasuk revisi yang dilakukan saat itu juga.
Pilihannya mengenai meninggalkan Oliver atau tidak, ia masih bimbang. Untuk saat ini, Olivia memilih sedikit menjaga jarak. Ia sadar, hubungannya dengan laki-laki itu terlalu dekat. Lagipula, untuk meninggalkannya merupakan keputusan yang cukup besar. Sebab, sebuah pertanyaan terlintas dalam pikiran Olivia; apakah ia bisa melakukannya?
Kini, Olivia tengah berjalan menuju ruang BK di saat jam istirahat berlangsung untuk menanyakan tentang impiannya di masa depan. Ya, sejak kemarin, pikiran gadis itu tak bisa lepas memikirkan dunia pekerjaan. Menjadi Penulis atau Diplomat? Atau bahkan, menggantikan posisi Soraya yang kini menduduki kursi CEO di perusahaan.
Akhirnya, langkah gadis itu terhenti di depan pintu kayu. Mengetuk pintu tersebut hingga beberapa kali, sampai sang pemilik ruangan berseru memerintahkannya masuk ke dalam.
"Ada yang bisa saya bantu, Liv?" tanya Bu Weni menghampiri usai Olivia duduk di sofa.
Olivia menghela napas. "Saya pingin konsultasi, Bu, untuk minat, bakat, dan potensi."
"Sebentar, saya mau cek jadwal saya dulu. Takutnya tabrakan," ucap Bu Weni menggeser layar handphonenya, membuka file yang telah diberi kotak-kotak—berisi nomor-nomor para guru. "Oh, gak tabrakan, kok, Liv. Tentang apa?" tanyanya.
"Saya bingung, Bu, memilih berkarir di dunia literasi atau pemeritahan."
"Oh, iya-iya. Silakan."
"Jadi gini, Bu. Setelah pulang dari penerbit kemarin, saya ngerasa bimbang untuk menentukan 'di mana saya harus berkarir?'. Di satu sisi, saya punya bakat di tulis-menulis. Sedangkan, di sisi lain, sejak SMP, saya pingin jadi Diplomat. Dan, di sisi lainnya juga, Mama pingin saya ambil alih perusahaan Papa."
Tepat setelah Olivia berhenti menjelaskan, ruang BK menjadi sunyi. Tak ada satupun suara yang meramaikannya. Bu Weni sendiri nampak berpikir sembari menulis nama Olivia beserta tiga pilihan karir gadis itu yang—kemungkinan—akan semuanya disabet secara bersamaan atau hanya dipilih salah satu dari ketiga karir tersebut.
"Oke, Liv. Kita lihat di bagian penulis. Di penulisnya, kamu udah terbukti berhasil, karena bisa menerbitkan buku di usia kamu yang ketujuh belas ini. Trus, di diplomat. Diplomat ini, kan, lebih ke bahasa.
Nah, saya lihat, kamu jago juga bahasa dan bisa baca situasi sama kondisi. Kalo rapat, kan, gitu, ya. Liat dulu gimana-gimananya, kalo gak ada masalah, baru rapat bisa dimulai. Berarti, kamu bisa ambil jurusan sastra, untuk penulis, atau hubungan internasional, kalo kamu masih pingin berkarir jadi diplomat.
Tapi, kalo ada keinginan untuk menulis, sedangkan kamu ambil jurusan HI, masih bisa. Menulis, kan, bebas, otodidak," jelas Bu Weni menarik anak panah dari nama Olivia pada bagian penulis dan diplomat. "Sedangkan di CEO ... Bisnis, perusahaan, dan ... klien. Mohon maaf sekali, saya rasa kamu belum memiliki dua syarat pentingnya. Percaya diri dan membaca sifat setiap orang atau klien kamu nantinya.
Soalnya, saya lihat, kamu masih pemalu, minder gitu. Nah, kalo udah kayak gitu, kamu harus bisa menumbuhkan kepercayaan dirimu lagi. Kalo nggak, ya, hancur perusahaanmu, bagkrut. Bukan kamunya tapi, perusahaannya. Masalah membaca sifat setiap orang, kamu bisa ikut seminar psikolog. Cuma tiga ratus ribu aja, kok," kata Bu Weni menutup pena dan meletakkannya di meja.
Selama Bu Weni menjelaskan, Olivia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun, menurutnya, ia lebih baik memilih untuk menelusuri internet mengenai hal itu, ketimbang mengikuti seminar dan mengeluarkan uang tiga ratus ribu, meski nominal itu terbilang kecil bagi sang Mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Days With You [TERBIT]
Teen FictionINSPIRED BY A TRUE STORY "Napa, sih, kamu suka bikin gemes?" tanya Oliver mencubit pipi Olivia yang terlihat lebih tirus dari sebelumnya. "Cubit aja terosss, sampe molor," komentar Olivia mendengus kesal usai pipi terlepas dari cubitan Oliver lalu m...