Semenjak pulang dari Bali, Olivia benar-benar menyibukkan diri melakukan berbagai kegiatan. Melakukan berbagai cara agar pikirannya bisa beralih dari berbagai hal tentang Oliver. Seperti saat ini, Olivia melakukan treadmill di ruang gym—sangat jarang dipakai—sambil memejamkan mata sepanjang alunan musik benergik menggema di telinga di akhir pekan ini selama lima belas menit. Lalu menghentikan aktivitasnya, mengambil sebotol mineral yang terletak di meja samping treadmill, dan meneguk hingga tandas.
Menutup botol, gadis itu menghela napas. Pake logika, Liv, pake logika! Kalo lo pake perasaan, yang ada gak bakal selesai-selesai! Olivia menggelengkan kepala. Ia beranjak dari tempat dan mengangkat kaki dari sana.
"Tumben," celetuk Chalondra tiba-tiba berdiri di depan pintu.
Olivia terlonjak, membalikkan badan. "Kaget, anjir! Lapo, se?"
(Napa, sih?)
"Lhooo, sakjane aku sing kudu takon. Kowe lapo?"
(Seharusnya aku yang harus tanya. Kamu kenapa?)
"Olahraga. Emang salah?"
"Nggak. Cuma jangan terlalu diforsir aja." Chalondra bersedekap. "Kasihan badan lo. Baru kemarin pulang dari Bali."
"Baru juga dua hari yang lalu," kata Olivia mendesah kesal.
"Gini-gini juga, gue Cece lo. Anyway, kalo ada apa-apa, bilang, jangan diem doang. Gue bukan cenayang," terang Chalondra.
Kakak-beradik itu berjalan bersama menuju kolam renang. Keduanya berhenti tepat dua langkah dari kolam itu. Tenang dan jernihnya air membuat Olivia sedikit tenang. Olivia menoleh. Menatap Chalondra ragu-ragu, bimbang dengan keputusan yang diambil. Apakah Chalondra tidak akan marah jika ia menceritakan apa yang sebenarnya terjadi?
"Kalo lo lagi dalam hubungan gak jelas sama cowok gitu gimana?" tanya Olivia memberanikan diri.
Chalondra menghadap ke samping. "Lo lagi HTS?"
Olivia mengangguk sebagai jawaban.
"Hm ... Tinggalin ajalah. Lo udah berapa lama HTS?"
"Sekitar setengah tahun."
"Napa gak minta kepastian?" tanya Chalondra lagi, menyembunyikan ekspresi terkejutnya.
Olivia mengiakan. "Udah. Dia jawab kami cuma temen, gak lebih. Tapi sifat dan perlakuan dia itu lebih dari temen."
"Jaga jarak. Tinggalin." Chalondra menatap teduh sang adik.
"Ini gue lagi usaha," balas Olivia mengangkat tipis kedua sudut bibirnya.
Mengepalkan tangan, Chalondra meninju udara. "Gue dukung, semangat!"
Olivia menunduk. "Makasih banyak, Ce."
"Ah, lo kek sama siapa aja." Chalondra mengulum senyum. "Mau main bulu tangkis gak?"
"Serius?"
"Gelem opo ora?"
"Bukan gitu. Bukannya lo ke kantor sama Kak Adelardo?"
"Nggak. Capek. Passion gue di entertainment, bukan bisnis. Ogah banget."
Olivia mengangkat sudut bibirnya yang nayris tak terlihat. Ujung-ujungnya juga gue yang nerusin. "Lo kapan nikah, Ce?" tanyanya mengalihkan topik.
"Masih jauh. Gue fokus sama karir dulu. Adelardo juga. Gue suruh dia ke sini buat bantuin gue semenjak Mama batalin liburan ke Bali. Abis itu, Mama nyuruh gue ngurus kantor. Kan, gue gak bisa. Untungnya, ada Adelardo si anak manajemen bisnis," jelas Chalondra terkekeh membuat Olivia tertawa kecil. "Napa tanya gitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Days With You [TERBIT]
Teen FictionINSPIRED BY A TRUE STORY "Napa, sih, kamu suka bikin gemes?" tanya Oliver mencubit pipi Olivia yang terlihat lebih tirus dari sebelumnya. "Cubit aja terosss, sampe molor," komentar Olivia mendengus kesal usai pipi terlepas dari cubitan Oliver lalu m...