Karina mendesah kesal. Batrai ponselnya habis dan dia belum sempat mengabari orang rumah kalau dia tidak jadi pulang bareng Giselle. Hari ini dia ada latihan saman yang tidak bisa ditinggal karena ada undangan dari pemerintah kota untuk mengisi acara. Dia lupa Giselle tidak ada rapat OSIS sore ini dan lupa juga tidak bilang mau nebeng. Berakhirlah dia ketar ketir sendiri. Mana semua temannya sudah pada pulang.
Dia memasukkan semua barang-barangnya dengan tergesa ke dalam tas. Sambil berjalan dia membenahi rambut panjangnya yang sedikit berantakan karena latihan tadi. Sekolah sudah mulai sepi hanya beberapa anak kelas 12 yang memilih tinggal untuk belajar dan sedikit mengisi waktu sebelum berangkat menuju tempat les. Dia mengecek jam ditangannya dan kembali kaget karena waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Mana ada angkot lewat kalau jam segini? Batinnya panik.
Dia berlari menuju depan sekolah dengan tergesa-gesa padahal belum tentu juga ada angkot atau bis yang lewat. 15 menit menunggu dengan wajah panik di depan sekolah membuatnya bingung harus bagaimana. Ayahnya tidak akan menjemput karena dia sudah izin pulang lambat karena ada latihan. Karina pasrah, dia mau meminjam charger juga sudah telat karena satpam sekolah keburu menutup gerbang dalam yang menandakan siapa pun sudah tidak boleh berada di lingkungan sekolah.
"Mampus gue, anjir." Katanya putus asa.
***
Di tempat yang lain, Jeno baru saja keluar dari ruang musik sekolahnya. Hari ini dia memutuskan untuk pulang lebih lambat dari biasanya karena malas pulang. Kakaknya kemarin pulang dari Surabaya setelah hampir setengah tahun tidak pulang akibat sibuk dengan sekolah kedokterannya di sana. Benar, Kakaknya adalah salah satu mahasiswa kedokteran di universitas terbaik di Surabaya. Jeno hanya malas dibanding-bandingkan.
Dia mengeluarkan motornya dari parkiran dan menyapa satpam sebelum berhasil keluar dari gerbang sekolah. Ketika hendak melaju di jalan raya depan sekolah, matanya tidak sengaja melihat Karina yang berdiri dengan gelisah di samping gerbang. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri entah menunggu apa, ekspresi panik sangat ketara melekat di wajahnya. Jeno sedikit menimbang apakah dia akan menghampirinya atau tidak.
Lama memperhatikan, pandangan mereka tak sengaja bertemu membuat mata keduanya sedikit membelalak kaget. Jeno memberanikan turun menghampiri Karina. "Butuh bantuan ga?"
Karina sedikit bersyukur dengan kehadiran manusia yang berada di depannya sekarang. Masa bodo dengan rasa malu, daripada dia tidak bisa pulang. "HP gue mati terus ga ada angkot, bisa minta tolong anterin ga? Nanti bensinya gue ganti." Kata Karina dengan bibir agak sedikit bergetar karena memang cuacanya akan hujan.
Jeno menipiskan bibirnya melihat ekspresi Karina yang terlihat ketakutan. Dia bertanya-tanya sudah berapa lama dia menunggu di sini? Kenapa tidak meminta bantuan saja?
"Ayo gue anter. Bensin gue masih banyak." Jeno berbalik dan membimbing Karina yang berjalan di belakangnya menuju motor yang terparkir tidak jauh dari mereka. Jeno mengeluarkan hoodie dari jok motornya kemudian menyerahkan pada Karina. "Baru beberapa kali gue pake, masih bersih kok." Jeno menyerahkan hoodie tersebut kepada Karina yang langsung di terima tanpa acara tolak menolak.
Sambil menaiki motor, Jeno tersenyum. Kepribadian Karina yang tidak rewel dan to the point membuatnya sedikit tertarik.
"Sorry ya gue malah ngerepotin gini. Maaf nama lo siapa?" Tanya Karina menaiki motor Jeno.
"Jeno."
Dari kaca spion Jeno melirik Karina yang tersenyum sedikit. Dia menunggu Karina selesai memakai hoodie-nya. Sumpah setelah ini Karina berjanji akan baik kepada Jeno karena sangat peka melihat dirinya yang kedinginan.
"Lo kelas berapa Jen?"
"11 IPS 4." Jawab Jeno miris. Jelas saja Karina tidak tahu dia, lagian siapa dia? Batinnya.
"Oh, salam kenal ya. Gue Karina 11 IPA 1"
Jeno mengangguk dan melajukan motornya. Dia sudah tahu rumah Karina karena memang dia tetanggaan dengan Naren. Karena Jeno, Refani, dan Haekal sering main ke rumah Naren jadinya sudah hapal betul jalan menuju rumah Karina.
Motornya berhenti di salah satu rumah bergerbang hitam di area komplek perumahan Naren. "Gue baru tahu lo temennya Naren." Kata Karina sambil turun dari motor Jeno. "Jeno ini hoodie-nya gue cuci dulu ya, lusa baru gue bawa ga papa?" Tanyanya sedikit melirik takut Jeno yang sedari tadi terlihat cuek dengan semua jenis topik yang Karina lontarkan.
"Gausah di cuci. Langsung gue bawa aja."
"Ga ah, gue cuci sumpah deh pakek tangan kalo lo takut kenapa-napa."
Jeno menghela napasnya, malas berdebat. "Lain kali bareng Naren kalo ga ada yang ditebengi."
Karina tersenyum mengangguk. Sebenarnya Jeno ini perhatian, hanya sedikit terlalu cuek saja. "Gue ga akrab sama Naren." Katanya
"Ya ngakrabin lah. Tetanggaan ini." Balas Jeno sedikit kesal.
Karena menggigit bibirnya, sedikit merasa tidak enak dengan nada bicara Jeno. "Iya nanti kenalan."
"Gue duluan." Ucap jeno menyalakan motor.
Mata Karina membesar. Sebanarnya dia juga tidak tahu kenapa dia kaget ketika Jeno bilang akan pergi. Hanya saja Karina merasa tidak cukup jika pertemuannya hanya sebatas ini. "Eh ga mau mampir dulu?" Seumur hidup dia diantar teman-temannya baru kali ini dia menawari untuk mampir. Karina menipiskan bibirnya, kaget dengan ucapannya sendiri.
Jeno menoleh ke Karina. Sekuat tenaga menahan senyum melihat Karina yang salah tingkah dengan kelakuannya sendiri. "Lain kali ya Karina. Takut dicariin emak gue." Katanya dengan senyum tipis.
Karina tersenyum mengangguk. "Makasih banget ya Jen. Hati-hati di jalan." Karina menunggu kepergian Jeno sambil melambai terus-menerus. Sumpah baru kali ini dia merasa sangat bahagia ketika pulang latihan saman. Biasanya dia akan cape dan mengeluh mati-matian ketika sampai di rumah.
Ketika hendak memasuki rumah, matanya tak sengaja menatap Naren yang sudah berdiri melongo dengan kaget menyaksikan adegan beberapa menit ke belakang. Posisi rumahnya dengan Naren memang tidak terlalu dekat, berhadapan namun masih berjarak dua rumah. Naren kebetulan mau ke Masjid karena dipaksa adzan oleh Bapaknya benar-benar tidak habis pikir bisa-bisanya Jeno yang katanya biasa saja dengan Karina dan bahkan tidak pernah terlihat sedang dekat dengan Karina bisa mengantar Karina pulang. Besok akan ada perjulidan besar-besaran.
Karina tersenyum mengangguk menyapa Naren. Dia teringat perkataan Jeno yang menyuruhnya kenalan dengan Naren perkara disuruh minta nebeng. Tindakan itu jelas membuat Naren semakin bingung, boro-boro membalas, mau membuka gerbang saja rasanya sulit dilakukan.
Sekian terima Karina
KAMU SEDANG MEMBACA
Jeno's
FanfictionBukan cerita tentang cowok berandalan yang jatuh ke cewek baik-baik, bukan cerita ketua OSIS yang yang berhasil menaklukkan manusia kurang ajar sesekolahan, bukan juga tentang teman masa kecil yang terjebak friendzone. Hanya tentang Jeno yang pada a...