32

2.6K 226 6
                                    

"Assalamualaikum..." Kepala Naren muncul di balik pintu membuat Haneen menatapnya lucu.

"Waalaikumsalam Bang, kok masih maksain sih?" Tanya Haneen kesal.

"Gue udah janji."

"Maaf ya Bang."

"Minta maaf mulu dah."

Haneen terkikik. Dia menatap Naren dengan takjub malam ini karena penampilan santainya. Kaos putih bergambar monalisa di bagian tengah dipadukan jaket jeans berwarna hitam pudar. Rambut hitam tebalnya yang sedikit panjang dia biarkan terurai berantakan sehingga menambah kesan keren di mata Haneen. Walaupun sendal hotel berwarna putih itu mampu membuat Haneen menahan tawanya sedikit.

Sebenarnya dia memang berharap Naren datang karena ibunya berpesan tidak bisa menemaninya. "Tadi gimana?"

Naren yang sudah duduk nyaman di sofa ruangan Haneen pun mengernyit bingung menatap Haneen. "Apanya?"

"Izinnya ke temen-temen lo."

"OH! Aman kok tenang aja."

"Gimana sakitnya masih kerasa ga?" Tanya Naren mendekat duduk di samping Haneen.

"Lumayan ya kerasa linu-linu yang bagian lukanya." Haneen meringis sakit mengangkat lengannya yang lecet akibat menghantam aspal. Tak separah Naren tapi lukanya lumayan dalam. "Lo gimana Bang?"

"Sama anjir linu-linu." Naren melihat sekitar. Ruangan Haneen sedikit lebih ramai dari semenjak dia izin menginggalkannya siang tadi. "Ada yang dateng?"

"Temen sekelas tadi mampir bentar."

Naren mengangguk paham. Pantas banyak oleh-oleh tertata rapi di nakas. "Ibu lo ke mana?"

"Ga bisa ke sini kayanya Bang." Naren kembali mengangguk. Mulai paham kenapa ibunya memaksanya untuk datang dan menemani Haneen. "Ada adek masih kecil. Kasihan kalo di ajak nginep di sini."

Naren sedikit tertarik dengan topik ini. Awalnya ketika melihat wajah Haneen yang putih pucat dia kira Haneen orang yang pendiam dan dingin. Tapi setelah mengobrol lebih jauh, Haneen lebih hangat dari yang dibayangkan. Pembawaannya pun santai dan mampu mengimbangi kekonyolan Naren.

"Lo ada adek?"

Haneen mengangguk. "Dua." Terusnya.

Naren membelalak kaget. "Ha?!" Lumayan kaget, karena dia kira Haneen anak bungsu.

"Adek gue kembar cowok dua." Naren kembali kaget.

"Anjir seru!" Pekik Naren terlihat tertarik.

"Belum aja lihat mereka kalo lagi rewel ya lo." Kekeh Haneen membuat Naren mengarahkan atensinya lebih serius ke Haneen.

"Enak dong ga sepi rumah."

"Rame sih cuma kalo ramenya timbang bocil nangis juga makasih banget."

Naren tertawa mendengar balasan Haneen yang sangat realistis. "Bapak lo di rumah juga?"

Haneen menggeleng. "Bapak dinas luar jawa. Tiga bulan sekali baru pulang. Itu juga kalo ga ribet kerjaannya."

Naren mengangguk. "Sama Bapak Emak gue juga sering dines." Naren paham bagaimana perasaan Haneen.

"Lo ada sodara Bang?" Tanya Haneen hati-hati. Sedari tadi hanya dia yang bercerita dan Naren hanya menimpali. Bukannya dia kepo, tapi Naren lumayan enak diajak ngobrol.

Naren menggeleng pelan. "Gue mandiri dari lahir."

Haneen mengangguk-angguk paham. "Pantes."

"Kenapa?" Tanya Naren penasaran.

Jeno'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang